[caption caption="Slamet SPd. Menyuruh bocah menggepeng dan membintangi iklan sama-sama perampokan kebebasan anak. Foto koleksi Slamet"][/caption]Tragis, peristiwa perampokan terhadap kebebasan anak marak di kota besar. Hal itu dilakukan baik oleh keluarga miskin maupun keluarga berpunya. Motif ekonomi merupakan latar belakang perampokan kebebasan anak.
Masyarakat Jakarta, terutama kaum intelektual yang beruntung mengenyam pendidikan tinggi belakangan ini geger soal perdagangan bocah. Mereka terbelalak terutama setelah polisi berhasil membongkar dan menangkap pelaku jaringan eksploitasi anak. Tak pelak, fenomena tersebut dikuliti habis-habisan dalam program frame time di beberapa stasiun
TV swasta nasional.
Slamet SPd. Anggota DPRD DIY dari Fraksi Golkar mengatakan, di sela hiruk pikuk tragedi eksploitasi bocah, terjadi ketidakseimbangan cara pandang. Kritik yang dilemparkan kaum terdidik dirasa tidak fair alias berat sebelah.
Mereka, tunjuk Slamet, mengutuk keras terhadap perilaku mempekerjakan anak melalui kegiatan mengemis dan mengamen. Sementara kaum intelektual itu menutup mata sedemikian rapat terhadap eksploitasi anak di bidang yang lain.
Sedikit, lanjut Slamet, yang mengkritisi fenomena  bintang iklan yang diawaki seorang bocah. Padahal di Indonesia cukup menjamur. KPAI, TV swasta nasional, kaum intelektual tidak pernah mempermasalahkan, apa lagi mengutuk.
Selama ini, merekrut bintang bocah untuk menawarkan pasta gigi, sabun pembersih kuman, atau produk makanan dipandang tidak ada unsur ekploitasi.
Sementara itu, menurut Slamet, substansi dari dua kegiatan yang berbeda tersebut pada dasarnya sama persis. Perbedaannya, mengemis dan mengamen dilakukan masyarakat yang secara ekonomi tak beruntung, sementara bocah yang membintangi iklan produk tertentu dilakukan oleh lapis masyarakat berpunya.
"Tetapi keduanya tetap merupakan bentuk eksploitasi yang ujung-ujungnya berupa perampokan kebebasan anak demi meraup uang," timpal Dwi Warna Widi Nugraha, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Gunungkidul, Selasa 5/4/2016.
Faktanya, orang tua yang hidup di kota besar terlalu tega merampok kebebasan anak. "Saya ngeri menyaksikan perampokan itu," tandas Dwi Warna.
UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak, dirasa masih ada kekurangan. Di sana,  tidak  secara tegas dimuat item eksploitasi ekonomi.
Menyangkut hak perlindungan, di Pasal 15 dinyatakan, setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan dalam: 1. kegiatan politik, 2. sengketa bersenjata, 3. kerusuhan sosial, 3. peristiwa mengandung unsur kekersan, 4. peperangan, dan 5. kejahatan seksual.
Sementara item larangan pelibatan ekspoitasi ekonomi yang bisa digunakan untuk menjerat orang tua yang mendorong anaknya membintangi iklan, di dalam UU 35 2014 tidak disebut secara eksplisit. "Saya sependapat dengan Pak Samet, mengekspoitir gepeng dan merelakan anak menjadi bintang iklan, pada prinsipnya sama," tegas Dwi Warna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H