Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembantu Jokowi Mengubah Negara Hukum Menjadi Negara Kekuasaan

30 Maret 2016   14:57 Diperbarui: 30 Maret 2016   15:28 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="dua pungutan, ketahanan energi dan cukai. foto Antara"][/caption] Presiden Jokowi potensi terperosok dalam lubang pelanggaran konstitusi. Bermula dari hal mendasar:  dia melakukan kesalahan dalam memilih orang yang secara teknis harus menyokong gagasan nawa cita.

Sebuah contoh terjadi di depan mata, Sudirman Said, Mentri ESDM berfikir dan bertindak sangat gegabah. Dia begitu berani bahkan merasa gagah, meski itu salah. Secara semena-mena dia menafsirkan sebuah UU untuk sekedar mengisi dompet pemerintah. Yusril Iza Mahendra melempar kritik pedas, tetapi Sudirman tetap berlalu.

Mentri ESDM menafsirkan UU No. 30 Tahun 2007, secara keliru dan serampangan.  Berdalih demi penelitian dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan, akhir Desember 2015 dia melempar bola panas bernama 'pungutan' dari hasil penjualan BBM.

Kecerobohan penafsiran itu dilakukan untuk pasal 29 dan 30. Dia menganggap di balik pikiran yang konyol pungutan Rp 200,00 untuk premium dan Rp 300,00 untuk solar adalah legal.

Payung hukum yang dipegang teguh Sudirman Said untuk membenarkan pungutan tersebut adalah Pasal 30 Ayat (3) dan (4).

Di dalam Ayat (3) dinyatakan, pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan. Kemudian Ayat (4) menyatakan, ketentuan mengenai pendanaan sebagaimana dimaksud Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dalam hal memahami Pasal 30 Ayat (3) Sudirman Said terlalu pikun. Di sana tidak ada istilah 'pungutan'. Ide itu tidak lebih dari improvisasi Sudirman selaku pemegang kekuasaan di kementrian ESDM. Inilah kesalahan fatal yang tak gampang dilupakan orang.

Berdasar pada pasal dan ayat yang sama, kalau pemerintah mencari dana ketahanan energi (DKE) seharus menyisihkan sebagian dari hasil penjualan energi tak terbarukan dan bukan menempelkan 'pungutan' sebagaimana improvisasi Sudirman.

Makin lucu ketika Mentri ESDM mematok angka pungutan Rp 200,00 untuk premium dan Rp 300,00 untuk solar. Angka ini musti tercantum dalam PP terlebih dahulu. Fenomena ini aneh, angka dipublikasikan sementara PP-nya belum dibuat. Tidak salah kalau publik menudig Sudirman Said menciptakan tradiri buruk.

Belakangan menyusul bakal ada kutipan baru berupa cukai BBM. Yang dijadikan landasan hukum UU No. 32 Tahun 2009.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Dirjen Bea Cukai sedang mengakaji kemungkinan penerapan cukai terhadap BBM. Lagi-lagi aneh, bahwa PP-nya juga belum ada.

Cukai BBM tak pelak secara internal menyulut pro kontra. Diretur Pemasaran PT Pertamina Pesero mengusulkan BBM dikenai cukai. Sementara Direktur Utamanya berbeda pikiran, cukai BBM hanya akan memberatkan masyarakat.

Tetapi yang terjadi para penguasa di bidangnya menganggap ringan dan baik-baik saja. Alasannya untuk mendorong pengguna BBM beralih ke BBG.

Hal yang sesungguhnya terjadi, pemerintah lagi puyeng mencari duit Rp 3 trilyun yang terlanjur disodorkan dalam APBN-P 2016. Itulah sebabnya, UU ditabrak dan PP disiasati.

Hukum sebagai rel untuk menjalankan kekuasaan sebenarnya  tidak bisa ditafsirkan berdasarkan selera perseorangan. Tetapi di bawah rezim Kabinet Kerja, hukum diterobos dan dimanipulasi. Hukum disiasati berdasar penafsiran mentri yang sedang berkuasa.

Kekeliruan mentri, sepanjang dia tidak mengakui dan bahkan mencari alasan pembenar, sepenuhnya adalah tanggungjawab Presiden. Karena kebijakan yang diambil dirasakan oleh 250 juta warga.

Di masa Jokowi negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan. Penguasa bebas berimprovisasi, meski salah menurut UU, dia tetap bercokol di pos teknis yang didudukinya. Ini sangat berbahaya.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun