[caption caption="ribuan sopir taksi konvensional demo, foto alsadat kompas.com"][/caption]
 Masyarakat berrgerak 10 kali lebih cepat, sementara Pemerintah lemot merespon. Penguasa tidak menjalankan UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu-Lintas. Itu sebabnya kemudian terjadi benturan antara taksi plat kuning dan taksi plat hitam.
 Menyimak Bab IV Pasal 5 Ayat 1, 2, dan, 3, terlihat jelas, bahwa Pemerintah tidak menjalankan UU No. 22 Tahun 2009 dengan baik.
 Negara bertanggungjawab atas lalu lintas dan angkutan jalan dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Ini amanat Pasal 5 Ayat 1. Dalam pasal yang sama Ayat 2 dinyakatan, pembinaan lalu lintas dan agkutan jalan sebagaimana ayat 1 meliputi: perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
 Permintaan taksi online tumbuh telah setahun labih. Pemerintah, dalam hal ini Kemenhub, Kemenkominfo dan Polri yang dianggap paling bertanggung jawab tidak melakukan kerja cepat. Setelah terjadi demo besar-besaran, baru 'nyengir kuda' turun tangan mencari jalan keluar.
 Pertanyaan sederhana, selama setahun, apa saja yang dilakukan kabinet kerja. Begitu masyarakat berrgolak, baru pemerintah terkaget-kaget.
 Secara eksplisit di Pasal 5 Ayat 3 huruf c dan d dinyatakan, bahwa urusan pengembangan industri dan teknologi lalu lintas dilakukan oleh kementrian negara.
 Argumen kuno, Kementrian Perhubungan kemudian bicara soal regulasi tetapi sangat parsial. Taksi plat kuning punya SIUP, NPWP, KIR dan segerobak perijinan yang lain, sementara taksi plat hitam yang menggunakan gatget tidak.
 Oleh sebab itu, ujar Ignatius Yonan, Menhub, dalam satu wawancara dengan salah satu TV Swasta Nasional, Selasa 15/3/2016,  UBER online serta GRAB harus dihentikan. Utamanya aplikasi yang digunakan harus segera ditutup oleh Kemenkominfo.
Pada hemat saya, Yonan termasuk mentri cerdas, tetapi berkaitan dengan fenomena taksi online, dia gagal memahami dan melaksanakan undang-undang.
 Fakta di lapangan, ide taksi online itu ditangkap sekelompok masyarakat yang akrab dengan teknologi secara amat cerdas. Responsibilitas tersebut merupakan kejelian mengambil peluang usaha.
 Negara, dalam hal ini hadir terlambat. Mau tidak mau itu harus diakui, karena amanat UU cukup jelas sementara implementasinya amat sangat kedodoran.
Gejala sosial merebak, merasa disaingi taksi konvensional teriak-teriak mengerahkan para sopir karena permintaan turun drastis. Alasan demo dibikin ngeres, gak bisa makan, gak bisa nyekolahin anak, gak bisa bayar kontrakan.
Demo, dalam kasus taksi online, pada dasarnya merupakan bentuk keterlambatan berfikir. Menejemen taksi konvensional seharusnya mengejar ketertinggalan, dan tidak turun ke jalan. Memanfaatkan aplikasi yang sama, secara regulasi taksi konvensional memiliki ruang gerak dan ruang gertak yang lebih leluasa. Mengapa ini tidak dilakukan?
Merujuk nilai gotong royong, taksi online tidak boleh pelit memonopoli aplikasi. Sepanjang taksi konvensional dan online duduk semeja, dipastikan tidak terjadi keributan. Endingnya masyarakat pengguna semakin banyak pilihan.
Kesimpulan saya: penguasa harus mecermati regulasi dengan seksama, kemudian menjalankannya secara konsisten. Di dalam Kabinet Kerja gak boleh ada kamus telmi. Kesimpulan kedua, pelaku bisnis taksi perlu memahami makna gotong royong, karena itu bagian dari budaya yang ditegakkan oleh Presiden Joko Widodo. Kesimpulan ketiga, UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas perlu disempurnakan. Angkutan penumpang plat hitam musti dipayungi hukum.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H