[caption caption="Punokawan pengawal kearifan dan ketegasan. foto Agung Jagal"][/caption]
Problem utama yang dihadapi bangsa pasca reformasi, menurut Presiden RI ke 7 Joko Widodo (Jokowi) ada 3 poin. Yang disebut paling awal, merosotnnya kewibawanan negara. Berikutnya, ditunjuk dua hal, melemahnya sendi perekonomian nasional, dan ketiga merebaknya intoleransi, termasuk krisis kepribadian bangasa.
Secara teknis, merosotnya kewibawaan negara, menurut Presiden Jokowi, indikatornya meliputi 6 kategori.
Pertama, ketika negara tidak kuasa memberikan rasa aman kepada warga negara. Kedua, Â ketika negara tidak mampu mendeteksi ancaman baik dari dalam maupun luar negri. Ketiga, manakala negara melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM. Keempat, ketika negara tidak bisa menangani konflik sosial. Kelima, ketika pemimpin negara tidak memiliki kredibilitas yang cukup untuk menjadi teladan, dan keenam, ketika negara mengikat diri pada sejumlah pernjanjian internasional, yang mencedarai karakter dan makna kedaulatan bangsa.
Kategori yang ditetapkan Jokowi, fungsinya seperti cermin. Kategori itu, bermanfaat untuk mendetekasi langkah Jokowi dalam memimpin NKRI selama kurun 5 tahun, atau sepanjang Jokowi berkuasa.
Uji-lapang, kemudian menjadi tolok ukur keberhasilan Jokowi atau sebaliknya.
Fenomena polisi Jakarta dihajar teroris di siang bolong pertengahan Januari 2016, menunjukkan betapa lemahnya negara dalam menghadapi ancaman luar dan dalam. Harus diperhitungkan juga merebaknya kasus perampokan yang terjadi di beberapa daerah.
Pemberian  rasa aman menjadi sangat mutlak. Tetapi sangat ironis, ketika istana presiden mendapat ancaman serius, terkait dengan gulungan kulit kabel yang ada di gorong-gorong, tidak jauh dari Presiden Jokowi tinggal. Bagaimana Jokowi bisa memberikan rasa aman kalau dia termasuk warga yang tidak aman?
Penanganan konflik sosial, terutama di kalangan buruh yang menuntut kenaikan upah, atau yang terancam PHK masih terkesan represif, kurang manusiawi. Meski harus diakui  DPR bersama Jokowi telah menyiapkan UU yang melindungi buruh migran.
Menyoal hadirnya pemimpin yang kredibel dan patut diteladani, pemerintahan Jokowi terlalu jauh dari harapan. Pertengkaran mulut yang tak kunjung selesai antar mentri, menunjukkan betapa keropos kewibawaan pemeritah. Â Rizal Ramli dengan Sudirman Said terus bersitegang, membuat rakyat mendadak mual.
Tak cukup mentri, Gubernur dan DPRD pun mempertontonkan drama pertarungan di panggung layar kaca. Ahok versus Haji Lulung dalam kasus pengadaan UPS melengkapi hancurnya kewibawaan negara.
Kontrak dengan asing, rupanya sulit diniscayakan Jokowi. Belum lagi diperhitungkan hutang luar negri. Item hutang masih cukup tinggi, tetapi dengan sengaja tidak dibuka di depan rakyat.
Tak kalah seru, langkah Jokowi juga digerogoti UNDP dengan ulah pengucuran dana kepada LGBT. Karena itu semua sempurnalah kekandasan nawacita yang digagas Jokowi.
Mau meresufle kabinet? Tidak banyak memperbaiki keadaan. Karena siapa pun mentrinya, sepanjang Jokowi tidak memiliki ketegasan bertindak, dalam arti mengambil posisi sebagai panglima tertinggi, Indonesia akan semakin terseret ke dalam lembah krisis gezag. Detik-detik rakyat semakin tidak mempercayai kekuasaannya hanya menunggu waktu.
Tak ada jalan lain ke roma? Tinggal satu, Jokowi tidak perlu mendengarkan suara para pembisik. Dia harus menjadi punokawan. Dengan penampilan sederhana (sipil), Presiden harus menjadi Pangti ABRI, yang memegang kekuasaan tertingi atas angkatan darat, laut, udara dan kepolisian.
Dengan begitu, segala rasa yang akan diberikan Jokowi bisa dirasa oleh segenap warga negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H