Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Religiusitas 'Kirab Gunungan' Terlindas Pariwisata

29 April 2014   04:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_321746" align="aligncenter" width="300" caption="Gunungan serpihan religiusitas. dok bewe"][/caption]

Gunungikul, secara administratif terbagai dalam 18 kecamatan, 144 desa dan 1.431 pedukuhan. Setiap pedukuhan, melestarikan budaya ‘bersih dusun’. Ada peragaan unik, masyarakat membuat tumpeng dan atau gunungan, kemudian diarak keliling dusun. Dari prespektif religi, kirab gunungan adalah ekspresi total dari stream of subconsciousness (aliran alam bawah sadar) tentang eksistensi pemilik jagat.

Pejabat setempat, terutama pemangku pariwisata, melihatnya sebagai peristiwa budaya semata. Mereka luput menilai, bahkan sangat tidak paham sama sekali, bahwa kegiatan bersih dusun sebenarnya memiliki sisi sreligius yang khas jawa.

Pelakunya, maksud saya masyarakat yang menyelenggarakan bersih dusun dengan cara mengarak gunungan pun, sebagian atau bahkan seluruhnya tidak pernah menyadari, bahwa kegiatan tersebut adalah sebuah katarsis (pencucian) jiwa.

Struktur gunungan, fisik seluruhnya adalah buah meliputi polo kependem (ubi-ubian), polo kesimpar (melon, mentimun, semangka, nanas), polo gumantung ( mangga, jambu, apel, salak, pisang, pepaya), ditambah polowijo: padi, jagung, kacang.

Hasil bumi yang dirakit menyerupai gunung, diletakkan di jodang, dipikul4 orang, diikuti bregodo (barisan) berpakaian seragam. Ada yang mengenakan uniform hijau, merah, kuning, ungu, semua serba gemebyar. Tertimpa sinar matahari, kelap-kelap.

Tak cukup dilihat gemerlapnya pakaian para pengombyong. Mengumpulkan buah puluhan bahkan ratusan jenis untuk dirakit menjadi kerucut menyerupai gunung adalah ekspresi dari apresiasi manusia atas kebesaran Sang Khlaiq.

Manusia yang terlibat dalam kegiatan mengarak gunungan, sebagian kecil menyadari, bahwa ratusan buah yang dijadikan ubo-rampe itu bukan miliknya. Di alam pikiran mereka terbersit pengakuan, bahwa seluruhnya adalah karya agung, sang pemberi hidup.

Itulah yang tersirat secara maknawi. Manusia merunduk dan merasa sangat kecil di hadapan-NYA. Mengusung karya Tuhan yang dirakit dalam bentuk gunungan, adalah cara lain masyarakat pedesaan mengucap syukur.

Memuliakan Tuhan dengan memamerkan karya rumit dan agung adalah sisi religius manusia yang tinggal di pedesaan spesifik Gunungkidul. Dan itu kongret ada di upacara bersih dusun.

Sayang, seribu sayang, religiusitas tersebut, dewasa ini tergilas oleh kepentingan pariwisata. Upacara sederhana tetapi sakral, telah dicemplungkan ke dalam kotak perdagangan. Nafas religi tersumbat (tidak menonjol), berganti alur ke kepentingan perut sesaat. Degradasi ini menarik untuk didiskusikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun