[caption id="attachment_333225" align="aligncenter" width="700" caption="Parjurit Sugiman berduka melihat prosesi demokrasi. Dok Bewe"][/caption]
Pahlawan yang gugur pada perang kemerdekaan jumlahnya tak terhitung. Tentara sebagai lembaga yang paling memiliki kepentingan, diyakini tidak mengantongi data tentang jumlah prajurit yang gugur.
Melacakkuburan prajurit yang tidak dikebumikan di makam pahlawan, di Gunungkidul tidak terlalu sulit. Hampir di setiap bulan Agustus, prajurit yang mati muda itu selalu meninggalkan pesan.
“Jika dada rasa hampa, dan jam dinding yang berdetak, kami bicara padamu dalam hening di malam sepi. Kami mati muda, tinggal tulang diliputi debu.”
Eloknya, suara itu menggemuruhdi setiap malam 17 Agustus, lewat pusisi saduran penyair Angkatan 45, Chairil Anwar.
Monologprajurit mati muda itu sepertinya menyindir apa yang sedang dilakukan para pemimpin bangsa. Yang paling dekat, adalah sindiran sejumlah keanehan yang terjadi pada pilpres 9 Juli 2014.
“Kami sudah coba apa yang kami bisa. Kami sudah beri, kami punya jiwa. Tapi kerja belum selesai. Belum apa-apa. Kami tidak bisa beri arti 4-5 ribu nyawa. Kami Cuma tulang-tulang berserakan.”
Area pekuburan prajurit, dalam sajak Cahiril memang dipersempit, “Kami yang kini terbaring antara Kerawang-Bekasi. Tidak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi.”
Tetapi pada dasarnya itu adalah pekik universal roh para prajurit yang tak keruankuburannya. Manakala para pemimpin, juga elemen bangsa ini keliru melangkah, mereka pun masih bisa merintih.
Jangan dikira prajurit mati muda itu mati. Mereka hidup dan cermat mengamati polah tingkah para pelaku sejarah.
Mengamati bagaimana Megawati berseteru dengan SBY. Melihat Megawati pernah rukun dengan Prabowo tetapi tiba-tiba berpisah. Menyimak Prabowo mengelak saat Jokowi mencipiki-cipika. Menilai Jusuf Kalla yang sulit membuka kran komunikasi dengan kubu Prabowo.
Duka cita prajurit mati muda itu sedemikiaan jelas, “Kami Cuma tulang-tulang berserakan. Tetapi adalah kepunyaanmu. Kaulah yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenganan dan harapan.”
Keputusasaan itu ternyata juga menggelayuti para arwah, prajuritmati muda. Terlebih Letnan Dua Sugiman, yang kuburannya tidak pernah diurus oleh keluarga, apa lagi negara.
Letda Sugiman terbaring di Sambi Pitu, Bunder, Patuk, Gunungkidul tanpa kembang kiriman. Wajahnya tertunduk menatap lalu-lalang demokrasi yang tak berujungtak berpangkal. Di alam kubur selama 65 tahun, sejak 6/3/1949, prajurit Sugiman masih juga menderita, lantaran menonton proses demokrasi sebuah bangsa.