Ramai postingan Prabowo berkunjung ke toko buku fisik di sela-sela lawatan kenegaraannya di India. Foto Prabowo membelakangi kamera sambil serius memperhatikan buku itu menarik. Apalagi, toko buku yang didatangi mirip toko tradisional di Senen Jakarta atau di Palasari Bandung. Toko buku fisik yang di Indonesia sebagian besar sudah menghadapi sakaratul maut.
Akun X Dahnil Anzar---orang dekat Prabowo---memuat foto dan tulisan dengan judul hampir mirip dengan artikel ini. Dahnil membocorkan bahwa sosok Presiden Prabowo adalah seorang pencinta buku. Ia melahap buku apa pun, di antaranya buku sejarah, ekonomi, pertahanan, dan militer.
Dahnil pun menuliskan harapannya:
Semoga 5 tahun kedepan dibawah kepemimpinan beliau tradisi baca menjadi watak utama pendidikan Indonesia. Dan menjadi wajah baru Indonesia. Indonesia yang rajin baca (Akun X Dahnil A. Simanjuntak).
Ungkapan Dahnil itu menunjukkan kita memang masih bermasalah soal minat baca buku. Sampai kapan kondisi itu akan berakhir?
India seperti kata Dahnil memang surganya buku-buku. Negara ini termasuk produsen buku terbesar di dunia, nomor tiga setelah AS dan Inggris. India juga menempati posisi kedua pasar buku berbahasa Inggris setelah AS. Hal itu karena disokong fakta bahwa India merupakan pusat penerbitan dan percetakan berbiaya murah.Â
Sebelum Cina menjadi pilihan maklon percetakan buku, India telah lebih dulu dikenal oleh negara-negara Eropa. Banyak penerbit besar memercayakan pencetakan bukunya di India. Namun, sebagaimana di Indonesia, India juga menghadapi tantangan pembajakan buku besar-besaran.
Kembali ke Prabowo, ada harapan ketika presidenku membaca dan menulis buku. Sebagai orang buku, tentu saja saya berharap Prabowo menaruh perhatian terhadap industri perbukuan Tanah Air yang kembang kempis, terutama kebijakan buku pendidikan.
Harapan yang tampak "sepele", Prabowo salah satunya dapat hadir membuka pameran buku di Indonesia dan membacakan buku untuk anak-anak pada peringatan Hari Buku Nasional.
Selama ini yang membuka pameran buku di Indonesia hanya selevel menteri, paling top juga wapres seperti Jusuf Kala.Â
Wapres Gibran dalam sebuah wawancara dengan Najwa Shihab, mengaku tidak gemar membaca buku. Ia bahkan menyebut di dalam keluarganya tidak ada budaya membaca buku. Perihal itu ditulis oleh Okky Madasari di Jawa Pos sebagai kritik tajam.
Jadi, berkebalikan dengan Prabowo yang membaca dan menulis buku, wapresnya masih belum. Wapres Gibran memang bukan Kahlil Gibran.
Sosok Prabowo banyak dibukukan pasca krisis 1998. Ketika Presiden Habibie mengeluarkan buku Detik-Detik yang Menentukan yang menyinggung peran Prabowo di balik tragedi Mei 1998, pihak Prabowo kemudian menjawabnya dengan penerbitan Buku Putih Prabowo: Kesaksian Tragedi Mei 1998. Kedua buku itu membuat heboh Indonesia setelah reformasi.
Setelah Prabowo masuk ke pusaran politik dengan mendirikan Partai Gerindra, buku-buku tentang Prabowo yang ditulis oleh orang lain pun bermunculan. Pencitraan dan reputasi Prabowo mulai dikemas dalam bentuk buku dengan pembingkaian pada sisi kenegarawanan Prabowo.Â
Presiden dan Buku
Apakah Prabowo juga menulis buku? Sisi ini termasuk penting sebagai pemimpin meskipun tidak semua presiden mau dan mampu melakoninya. Jadi, ada presiden yang menulis buku dan ada presiden yang menjadi subjek penulisan buku.
Presiden Indonesia yang menulis buku sendiri meskipun beberapanya dibantu oleh penulis pendamping (co-author), penulis bayangan (ghostwriter), dan editor, yaitu Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan SBY. Megawati Soekarnoputri lebih banyak menjadi subjek penulisan buku, begitu pun Jokowi.
Sewaktu masih menjadi GM di penerbit legendaris asal Solo, Tiga Serangkai (TS), dan kala itu Jokowi menjadi Wali Kota Solo (2010), saya mengusulkan ke direksi untuk segera menyusun biografi resmi Joko Widodo (authorized biography). Gayung bersambut, saya dan direktur menemui Jokowi di kantor Wali Kota Solo. Ia merestui rencana penulisan dan penerbitan buku itu.
Itulah pertemuan kali pertama saya dan terakhir dengan sosok yang kemudian sampai kini memenuhi pemberitaan media. Momentum yang diambil penerbit adalah kemungkinan Jokowi maju dalam pilgub Jakarta. Setelah itu saya tak lagi bekerja di TS ketika proses buku itu bergulir. Terpilihlah Alberthiene Endah sebagai penulis buku bertajuk Jokowi: Memimpin Kota Menuju Jakarta. Wujud buku itu adalah memoar.
TS dan Alberthiene Endah kemudian melanjutkan seri buku Jokowi dengan penerbitan buku Menuju Cahaya (2018) yang disiapkan pas momentum majunya Jokowi dalam pilpres 2019.
Sosok presiden yang erat dan menonjol dengan buku dapat disebutkan di sini adalah SBY. Selain melukis dan mencipta lagu, SBY termasuk produktif menulis buku. Ia pun kerap terekspose membaca buku. Ketika mengungkapkan kritiknya terhadap Jokowi, SBY menulis buku merah bertajuk Pilpres 2024 & Cawe-Cawe Presiden Jokowi yang diterbitkan 2023.
Prabowo dan Buku
Sebuah buku serius pun disiapkan tentang karier militer Prabowo. Terbitlah buku Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto oleh penerbit Media Pandu Bangsa, 2021. Penulisnya adalah Prabowo sendiri, editornya Dirgayuza Setiawan---salah seorang intelektual kepercayaan Prabowo.Â
Buku itu pernah dihadiahkan kepada Susi Pudjiastuti ketika berkunjung ke kediaman Prabowo. Susi mengeposkannya di akun IG @susipudjiastuti yang memperlihatkan tradisi intelektual: berbagi buku. Di salah satu foto tampak Prabowo memberikan autograf pada buku karyanya itu.
Sebelum buku Kepemimpinan Militer, Prabowo menulis buku Paradoks Indonesia: Pandangan Strategis Prabowo Subianto pada 2017. Buku itu diterbitkan oleh Koperasi Garudayaksa Nusantara.
Tahun 2022, buku itu direvisi dan diterbitkan ulang (dialihkan penerbitannya) dengan judul Paradoks Indonesia dan Solusinya oleh Media Pandu Bangsa.Â
Individu yang terlibat dalam penulisan buku itu, yaitu Burhanuddin Abdullah yang memberikan pertimbangan dalam penulisan (kurang jelas pertimbangan seperti apa, mungkin semacam penelah) dan Dirgayuza Setiawan sebagai editor.
Jika Prabowo diasosiasikan dekat dengan buku, ada secuil harapan Prabowo menaruh perhatian terhadap kebijakan perbukuan nasional lewat menteri-menterinya. Pembangunan ekosistem perbukuan yang sehat sebagaimana amanat UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan segera dapat diwujudkan.Â
Lembaga perbukuan, yaitu Pusat Perbukuan yang kini masih berada di bawah BSKAP, Kemendikdasmen, perlu diberi ruang lebih leluasa memainkan peran dalam mewujudkan buku bermutu, murah, dan merata (3M).
BUMN Balai Pustaka yang entah bagaimana perannya kini karena sebagai BUMN juga tidak mampu bersaing dengan penerbit swasta, sebaiknya direstorasi menjadi BLU di bawah Kemendikdasmen dengan fungsi juga sebagai heritage sejarah perbukuan dan sastra Indonesia.
Program MBG yang ikonik itu perlu diadaptasi menjadi program Buku Bergizi Gratis (BBG) untuk semua anak di Indonesia. Saya lebih mendambakan buku cetak daripada buku elektronik gratis tinggal unduh di platform resmi seperti SIBI (Sistem Informasi Perbukuan Indonesia).
Sebagaimana kebijakan pemerintah Swedia menggelontorkan Rp1,7 T sejak 2022--2025 untuk mengalihkan buku elektronik ke buku cetak, Indonesia juga mampu melakukannya agar anak-anak, terutama di daerah 3T memperoleh akses terhadap buku-buku bergizi alias bermutu.
Makanan rohani dalam bentuk buku-buku yang bermutu juga perlu. Buku-buku yang memantik minat untuk membacanya karena telah dikurasi dengan saksama oleh badan perbukuan nasional.Â
Karena itu, presidenku membaca dan menulis buku adalah sebuah keniscayaan literasi bagi bangsa ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI