Kemarin ada drama kecil di rumah kami. Senyampang saya menulis, tiba-tiba anak saya yang masih SD sibuk mencari ring kacu pramukanya. Entah di mana disimpannya. Mamanya otomatis mengomel-ngomel sambil memberi nasihat.
Memang kebiasaan buruk si anak, ia baru heboh mencari ketika waktunya pergi. Selain itu, ia kerap meletakkan barang sembarang seolah semua sudut rumah adalah tempat penyimpanan yang paling aman.Â
Hari sebelumnya juga sama, mencari-cari buku teks Matematika. Ternyata buku itu ada di sekolah karena masih disimpan gurunya. Ia lupa.
Tugas saya sebagai orang tua tentu menanamkan karakter untuk menyimpan dan menyiapkan barang sebelum hendak digunakan. Alhasil, teringatlah saya pada Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat. Apa lagi ini?
Pada 27 Desember 2024, Mendikdasmen, Abdul Mu'ti mengungkapkan ide Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat itu untuk mendukung penguatan gerakan membangun karakter bangsa. Selain itu, juga sebagai langkah membangun sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Gerakan itu pun resmi diluncurkan.
Kali pertama saya mengetahui gerakan itu melalui media sosial Instagram. Bahkan, gerakan itu diikuti dengan peluncuran gimmick Senam Anak Indonesia Hebat dan Album Lagu Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat.
Dari sudut pandang ilmu komunikasi, "wajah baru" pendidikan karakter itu berpotensi menjadi sebuah kampanye sosial yang efektif. Asalkan ada konsistensi jangka panjang yang bukan sekadar jargon lalu menghilang. Sebagai gerakan massal, ia harus mudah dipahami dan mengandung indikator keberhasilan.
Senam dan lagu itu termasuk pendekatan kreatif untuk mendidik sekaligus menginspirasi anak-anak Indonesia. Dalam hati saya yang bergiat di dunia buku, wah ada lagi nih pendekatan kreatif lain. Ya, menulis buku anak. Saya pun bersiap menulis 7 judul buku nonfiksi dan 7 judul buku fiksi. Total 14 judul buku, begitulah cara efektif produktif menulis buku, he-he-he.
Sudah Kenyang dengan Pendidikan Karakter
Sejak zaman Orde Baru hingga kini kita memang kenyang dengan berbagai program, gerakan, dan jargon untuk menciptakan anak Indonesia yang unggul sekaligus berkarakter.
Dalam istilah Orba, "menjadi manusia Indonesia seutuhnya". Karena itu, pemerintah pada masa itu sempat merah telinganya ketika Mochtar Lubis menyampaikan sebuah orasi kebudayaan (1977) di TIM tentang manusia Indonesia tidak seutuhnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!