Selama 30 tahun berkarier sebagai editor, saya membangun sendiri selera humor itu meskipun belum sampai terpikir menjadi komika di stand up comedy. Dengan teman-teman editor dulu saya kerap menertawakan banyak hal terkait naskah, kebijakan pemerintah soal perbukuan, atau penulis yang setelah menerima royalti, lupa kepada kami.Â
Soal pimpinan editor, ada juga sih ditertawakan. Lalu, karma terjadi ketika saya jadi pimpinan penerbit, sepertinya juga banyak ditertawakan. Namun, saya sudah memiliki ketabahan seperti hujan bulan Juni karena saya lahir memang bulan Juni.
Diplomasi dan negosiasi dengan para penulis juga memerlukan selera humor agar tidak tegang, apalagi menyangkut hak dan kewajiban para penulis. Humor mencairkan emosi dan suasana gerah di ruangan yang AC-nya bermasalah.
Suatu kali para editor ngobrol:
"Si Bapak penulis itu sesumbar naskahnya bakal jadi best seller, padahal ancur gitu."
"Penulisnya pasti orang Minang!"
"Loh, kok tahu. Itu dia yakin sesumbar bukan sesumsel atau sesumut."
 Jadi, pekerjaan sebagai editor memang kurang cocok untuk seorang yang introver, ia harus seorang yang ekstrover. Bagaimana jika orangnya pendiam? Tidak apa-apa yang penting ia dapat tersenyum dan tertawa, asal jangan tertawa-tawa sendiri. Meskipun wajah editor itu sangat serius---seperti wajah saya---, ia harus mampu memecah suasana bukan dengan wajahnya, melainkan dengan selera humornya.
Bolehlah tiba-tiba ia bernyanyi dengan suara sember.
Waktu ku ngedit
Aku nggak tahu yang alit-alit
Kukira kunyit
Nggak tahunya itu sumpit ... AseekÂ
Ketabahan Para Editor Diselingi Humor
Editor pemula jika ia kena "kutukan" tidak dapat keluar dari bisnis penerbitan maka lama-lama ia kan menjadi pribadi yang lebih baik dengan segala tekanan yang pernah dinikmatinya. Bak kata Angela Duckworth dalam bukunya GRIT (ketabahan), editor yang menekuni kariernya bakal memperoleh kombinasi passion (hasrat) dan perseverance (ketekunan) untuk mencapai tujuan jangka panjang, yang merupakan kualitas penting dalam profesi editor.Â