Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Sepintas Menilik Tren Buku 2025

1 Januari 2025   07:30 Diperbarui: 2 Januari 2025   06:54 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tren buku 2025 (Unsplash/Alfons Morales)


Selamat memulai langkah pertama pada 2025. Engkau sebagai pembaca mungkin sudah punya senarai buku yang akan mulai dibaca pada tahun baru ini. Janganlah buku itu tetap dibiarkan terbungkus plastik dan berdebu atau hanya tersusun rapi di rak yang membisu. 

Zaman penuh percepatan ini menuntut kita mencari kedalaman pengetahuan yang hanya disediakan oleh buku-buku bermutu. Itu sebabnya aktivitas membaca harus tetap menjadi resolusi sebagai solusi.

Tahun lalu (2024) saya juga sempat membeli beberapa buku kategori nonfiksi. Sederet lima buku yang saya ingat, yaitu 1) Filosofi Teras (Henry Manampiring) saat memasuki cetakan ke-50; 2) Atomic Habits (James Clear); 3) Company One (Paul Jarvis); 4) Social Media Success for Every Brand (Claire Diaz-Ortiz); dan 5) Mengabadikan Tabungan Kenangan (Hilmi Faiq). Dari deretan itu tergambar kecenderungan minat saya pada beberapa bidang buku nonfiksi, yaitu kesehatan mental, pengembangan diri, bisnis, teknologi digital, dan kreativitas.

Saya pun mengira kecenderungan buku-buku nonfiksi yang saya pilih akan tetap mendominasi tren buku pada 2025. Tren di sini sangat berhubungan dengan tema atau topik sehingga bukan dilihat dari jenis bukunya, yaitu fiksi atau nonfiksi serta buku anak atau buku dewasa. Sebagai contoh, buku anak itu kagak ada matinye, apa pun temanya. 

Begitu pula buku religi bukan saya anggap sebagai kategori tren karena secara evergreen, ia tetap diperlukan. Hanya buku-buku religi seperti buku Islam pada tema-tema tertentu juga dipengaruhi oleh kecenderungan dan tren pembahasan.

Contoh lain, fiksi dalam hal ini novel memiliki kecenderungan sebagai tren yang agak samar. Fiksi sangat dipengaruhi siapa yang akan menjadi pionir dalam menciptakan tren (trend setter) sehingga diikuti oleh penulis lainnya. Saya menyatakan bahwa fiksi berbasis pada keinginan (want) sehingga sukar ditakar. Ada novel yang awalnya diprediksi tidak sukses, tetapi malah disukai, viral, dan sukses. Sebaliknya, ada yang sudah digadang-gadang bakal laku, ternyata jeblok.

Berbeda halnya dengan nonfiksi yang berbasis pada kebutuhan (need) sehingga kecenderungannya lebih mudah diprediksi. Jika disusun sebuah senarai tema/topik buku nonfiksi yang bakal menjadi tren 2025, pilihan berikut ini akan tetap diminati:

  • kesehatan mental;
  • pengembangan diri;
  • bisnis dan kewirusahaan;
  • teknologi, terutama  AI;
  • sejarah;
  • lingkungan; dan
  • kreativitas.

Topik kesehatan mental memang naik daun dalam tiga tahun ke belakang jika dihubungkan dengan kelahiran generasi baru, terutama Gen-Z. Ada banyak tekanan sosial pada masa kini, pengaruh media sosial, gonjang ganjing ekonomi, dan pandemi Covid-19. Deretan masalah itu menimbulkan gangguan mental. Buku yang ditulis oleh Henri Manampiring, Filosofi Teras, menjadi satu contoh buku kesehatan mental yang mewakili situasi berat Generasi Milenial dan Gen-Z. Buku itu laris manis karena menggunakan pendekatan praktis.

Filosofi Teras itu mendaur ulang konsep Stoik dari Yunani Kuno dengan pendekatan kekinian. Banyak kearifan masa lalu telah terputus dari zaman kini sehingga sangat mungkin diaktualkan kembali.

Karena itu, buku-buku "daur ulang" juga akan diminati karena dorongan mendalami pemikiran-pemikiran orang yang terdahulu. Saya ingat dulu ada buku bunga rampai bertajuk Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, terbit 2000. Penerbitnya Visi Gagas Komunika---saya ingat penerbit ini dulu agresif memasarkan buku dengn jalur alternatif. 

Terkadang memang terasa makin ke sini makin minim tokoh berkelas pemikir dan pembaharu di Indonesia. Fenomena yang kuat adalah munculnya para pemengaruh (influencer) dengan kenaifannya yang justru lebih dipercayai daripada para pakar. Itulah mengapa seorang pakar juga penting sering menulis, muncul di media sosial, dan berlatih retorika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun