Ada isu menarik sebelum terbitnya SKKNI yang diinisiasi oleh Pusat Perbukuan itu. Ada kelompok masyarakat yang mengajukan petisi menolak sertifikasi untuk penulis buku anak. Protes tersebut juga disampaikan langsung kepada Pusat Perbukuan. Masukan itu diakomodasi dalam regulasi draf Permendikbudristek tentang Pembinaan Pelaku Perbukuan berupa pasal yang memuat penegasan sertifikasi profesi sebagai kebebasan individu untuk ikut serta atau tidak, bukan sebagai mandatori (kewajiban).
Saya pernah menuliskan perihal penolakan tersebut di sini: Menolak Sertifikasi Penulis Buku Anak
Memang idealnya seseorang yang ingin mengikuti uji kompetensi atau sertifikasi profesi berawal dari kebutuhan, kepentingan, dan kesadaran diri sendiri. Tidak semua orang merasa perlu dan penting mendapatkan pengakuan kompetensi resmi melalui secarik kertas berlogo garuda emas dari BNSP. Apalagi, bagi mereka yang sudah dikenal sebagai penulis, editor, desainer, dan ilustrator mumpuni. Untuk mereka yang sudah diakui sebagai master dalam profesinya, sebenarnya sertifikat kompetensi merupakan bentuk penghargaan dan pengakuan.
Sertifikat teknis atau kompetensi profesi itu kadang diminta dalam pengerjaan proyek-proyek pemerintah atau swasta sebagai tenaga ahli atau konsultan. Karena itu, bagi para profesional yang benar-benar menekuni profesinya, sertifikat kompetensi menjadi kebutuhan dan kepentingan.
Lalu, jika kemudian pemegang sertifikat kompetensi tidak menggunakannya hingga kedaluarsa (berlaku selama tiga tahun), tentu berpulang juga kepada dirinya sendiri. Mengapa sampai tidak digunakan? Minimal seseorang menggunakannya sebagai penguat jenama untuk memasarkan jasanya sebagai penulis atau editor.
Pro dan kontra terkait sertifikasi profesi banyak terjadi di setiap profesi. Penolakan juga pernah terjadi pada sertifikasi musisi. Pemicunya karena pasal sertifikasi itu muncul dalam draf RUU Permusikan sebagai mandatori. Akhirnya, RUU batal diundangkan, tetapi sertifikasi musisi ternyata tetap dilaksanakan, di antaranya oleh LSP Musik Indonesia dan LSP Kebudayaan (milik Kemendikbudristek).
Terbitnya SKKNI 232 Penerbitan Buku "sapu jagat" akan menjadi jalan sertifikasi kompetensi di pendidikan vokasi, baik SMK, politeknik, maupun sekolah vokasi yang diwajibkan. Dengan demikian, saat ini sudah mungkin dilaksanakan sertifikasi untuk penulis, editor, desainer, dan ilustrator yang berhubungan dengan buku. SMK Seni Rupa atau Prodi DKV dapat menyelenggarakan sertifikasi khusus ilustrator buku dan desainer buku apabila skema sudah tersedia dan ada LSP yang melaksanakannya.
Unit-unit kompetensi yang ada di SKKNI 232 juga dapat menjadi acuan untuk merancang materi pembelajaran ataupun RPP di pendidikan tinggi vokasi. Dengan demikian, keberadaan SKKNI 232 tetap penting sebagai acuan kompetensi profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H