Tentulah semua atlet itu pasti punya sisi cerita yang menarik untuk dituliskan, apalagi ketika mereka mampu meraih yang terbaik dalam prestasinya. Prestasi prestisius seperti juara Olimpiade bukanlah sesuatu yang mudah untuk diraih.Â
Memang ada tradisi membukukan kisah hidup para atlet di Indonesia, tetapi tidaklah banyak. Inisiatif membukukan kisah para atlet mungkin datang dari dirinya sendiri atau datang dari orang/pihak lain. Buku tentang para atlet tidak harus dipandang dari sisi ekonomi bahwa buku itu akan best seller dan menghasilkan fulus. Pandanglah ia sebagai bagian dari penghargaan terhadap sejarah.
Beberapa buku tentang atlet lahir dari cabor bulutangkis. Ada Teguh Budiarto yang menulis buku bertajuk Maestro: Menyingkap Rahasia Sukses Rudy Hartono. Robert Adhi Ksp menulis Panggil Aku King---sebuah memoar tentang Liem Swie King. Terakhir, Greysia Polii meluncurkan autobiografinya bertajuk Menembus Garis Batas: Perjuangan 30 Tahun dan Emas Olimpiade yang ditulis oleh Budi Suwarma dan Eko Prabowo.
Buku Greysia termasuk unik karena hendak dibagikan gratis dengan model memanfaatkan sokongan dari berbagai pihak. Tentu hal itu patut dihargai karena akan banyak orang yang dapat mengakses buku tersebut serta memperoleh inspirasi dari sosok Greysia yang juga melalui jalan berliku untuk menjadi juara.
Atlet dari cabor lain yang pernah dituliskan kisah hidupnya, terutama rekam jejaknya di dunia olahraga adalah Yayuk Basuki. Buku itu bertajuk Yayuk Basuki: Dari Yogya ke Pentas Dunia yang ditulis oleh Daryadi dan diterbitkan Remaja Rosdakarya. Seandainya saya masih bekerja di Rosda pada 1999 sebagai editor, mungkin saya turut menangani buku itu. Pas bertemu Mbak Yayuk di Komisi X DPR-RI saat menyusun RUU Sistem Perbukuan, saya ingat buku itu.
Jadi, meskipun ada yang menuliskan kisah para pejuang di dunia olahraga Indonesia, jumlahnya tak banyak dibandingkan jumlah atlet yang berprestasi di Indonesia. Mungkin atau mudah-mudahan segera terbit pula buku tentang Georgia, Veddriq, dan Rizki sebagai peraih medali Olimpiade karena jelas mereka adalah generasi yang menorehkan prestasi pada zaman serbamudah untuk membukukannya.
Pekerjaan atau proyek penulisan buku para atlet yang berpretasi tingkat dunia semestinya menjadi bagian dari program nasional seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga. Taklah banyak biaya yang perlu dikeluarkan untuk satu buku dibandingkan nilai manfaat dari keberadaan buku tersebut sebagai legasi kepada generasi sebelumnya. Bahkan, itu suatu bentuk penghargaan pada sang atlet.Â
Sangat boleh itu dipandang sebagai knowledge management dari suatu kementerian. Buku seperti yang diterbitkan oleh Greysia Polii semestinya menjadi tugas pemerintah untuk menyokong penulisan dan penerbitannya.
Autobiografi, Biografi, Memoar, dan Prosopografi
Menulis kisah hidup seseorang ada ilmunya yang juga sebagai sebuah seni. Ilmu dan seni menuliskan sejarah anak manusia basisnya adalah ilmu sejarah. Taufik Abdullah menyebutnya sebagai mikrosejarah. Ia bagian dari sejarah publik.
Kuntowijoyo dalam bukunya pernah mengkritik para sarjana sejarah yang "lahan" penulisan kisah hidup itu justru diambil oleh orang-orang yang bukan berlatar sejarah. Para penulis kisah hidup sering kali berasal dari kalangan wartawan yang umumnya tidak berlatar pendidikan bidang sejarah. Jadi, lulusan bidang sejarah justru tak mampu bersaing dengan lulusan yang nonsejarah.
Saya sendiri menekuni bidang penulisan kisah hidup itu meskipun berlatar belakang pendidikan ilmu penerbitan (termasuk bahasa dan sastra) dan ilmu komunikasi. Namun, saya memang dari awal tertarik dengan sejarah. Beruntung pada tahun 2023 saya mengikuti bimtek penulisan sejarah dan mendapatkan sertifikat kompetensi sebagai penulis sejarah dari BNSP yang difasilitasi oleh LSP Kebudayaan.