Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gelar Profesor di Kover Buku

20 Juli 2024   07:52 Diperbarui: 22 Juli 2024   14:35 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: KOMPAS/SUPRIYANTO

Namun, di Indonesia ada yang disebut profesor kehormatan, hadiah dari institusi kampus kepada seseorang yang dianggap berkontribusi dalam suatu bidang keilmuan. Di BRIN juga ada personel yang menyandang gelar profesor riset.

Profesor itu gelar tertinggi sehingga meminjam istilah Prof. Deddy Mulyana (Kompas, 16 Juli 2024), banyak yang kebelet menjadi profesor---dari kalangan pejabat publik dan pesohor.

Mereka yang kebelet mendadak profesor itu mengabaikan pemerolehan gelar secara etis sebagaimana tercantum dalam regulasi Kemendikbudristek.

Lain lagi dengan Prof. Fathul Wahid, Rektor UII, yang mendeklarasikan tak ingin dipanggil dengan sapaan prof, begitu pula ditulis dengan gelar lengkap, misalnya dalam penulisan surat untuknya. Fathul Wahid melakukan desakralisasi sebutan profesor sehingga menimbulkan pro dan kontra.

Ya, ada pendapat sapaan dengan menyebut gelar, seperti Pak/Bu Doktor dan Pak/Bu Profesor sangat feodal. Namun, sepanjang itu sekadar penghormatan serta antara yang menyapa dan disapa nyaman-nyaman saja, tentu tidak ada masalah. Itu salah satu Asian values, Bro. Human right!

Saya sendiri masih menggunakan sapaan itu untuk para profesor yang sangat saya hormati dan saya tahu kapasitas mereka sebagai profesor.

Saya setuju pendapat bahwa tidak perlu desakralisasi sepanjang para profesor itu mampu menunjukkan muruah mereka di bidang ilmu yang ditekuni serta menggunakan gelar itu pada tempatnya.

Nah, yang terakhir itu saya paling mendukung jika para profesor harus menulis buku ilmiah (paling tidak sekali dalam hidupnya), tetapi tidak perlu mencantumkan gelarnya di kover buku. Loh, bukankah itu akan menjadi pelaris buku?

Silau Gelar di Kover Buku

Saya sudah pernah menulis di Kompasiana soal pencantuman gelar di karya tulis ilmiah, khususnya buku. Artikel itu dapat dibaca di sini Gereget Gelar di Kover Buku.

Ada maksud mengapa beberapa pedoman gaya penerbitan atau gaya selingkung, seperti APA Style, Chicago Manual of Style (CMS), MLA Style menganjurkan, bahkan menginstruksikan bahwa pada kover buku hanya digunakan nama penulis tanpa gelar. 

Seperti di dalam CMS pada seksi 1.19 terdapat kalimat seperti ini: ... Chicago biasanya menghilangkan gelar akademis dan afiliasi apa pun .... (Chicago Manual of Style 2017, h. 10).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun