Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gelar Profesor di Kover Buku

20 Juli 2024   07:52 Diperbarui: 20 Juli 2024   08:51 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ya, ada pendapat sapaan dengan menyebut gelar, seperti Pak/Bu Doktor dan Pak/Bu Profesor sangat feodal. Namun, sepanjang itu sekadar penghormatan serta antara yang menyapa dan disapa nyaman-nyaman saja, tentu tidak ada masalah. Itu salah satu Asian values, Bro. Human right!

Saya sendiri masih menggunakan sapaan itu untuk para profesor yang sangat saya hormati dan saya tahu kapasitas mereka sebagai profesor. Saya setuju pendapat bahwa tidak perlu desakralisasi sepanjang para profesor itu mampu menunjukkan muruah mereka di bidang ilmu yang ditekuni serta menggunakan gelar itu pada tempatnya.

Nah, yang terakhir itu saya paling mendukung jika para profesor harus menulis buku ilmiah (paling tidak sekali dalam hidupnya), tetapi tidak perlu mencantumkan gelarnya di kover buku. Loh, bukankah itu akan menjadi pelaris buku?

Silau Gelar di Kover Buku

Saya sudah pernah menulis di Kompasiana soal pencantuman gelar di karya tulis ilmiah, khususnya buku. Artikel itu dapat dibaca di sini Gereget Gelar di Kover Buku.

Ada maksud mengapa beberapa pedoman gaya penerbitan atau gaya selingkung, seperti APA Style, Chicago Manual of Style (CMS), MLA Style menganjurkan, bahkan menginstruksikan bahwa pada kover buku hanya digunakan nama penulis tanpa gelar. 

Seperti di dalam CMS pada seksi 1.19 terdapat kalimat seperti ini: ... Chicago biasanya menghilangkan gelar akademis dan afiliasi apa pun .... (Chicago Manual of Style 2017, h. 10).

Adapun APA menganjurkan peniadaan gelar, tetapi membolehkan pencantuman afiliasi penulis (penyebutan lembaga/institusi yang menjadi homebase-nya) atau statusnya sebagai peneliti independen.

Kalau membaca artikel ilmiah di jurnal ilmiah, hampir semua penulis taat asas tidak mencantumkan gelar akademis apa pun, termasuk profesor. Tentu saja karena penerbit jurnal ilmiah tersebut taat asas mengikuti pedoman gaya selingkung yang ditetapkannya. Pelanggaran terhadap hal itu tidak berterima sehingga alamat karya tulis tidak akan dipublikasikan.

Namun, di buku banyak penerbit buku yang justru melanggar aturan itu dengan alasan marketing. Hal itu juga terjadi pada beberapa buku terbitan luar negeri. 

Apakah memang para pembaca buku, terutama buku ilmiah itu silau dengan gelar-gelar? Ya, tentu ada tujuan pencantuman gelar untuk membangun persepsi pembaca. Contohnya persepsi berikut: "Ini yang menulisnya profesor loh. Karena itu, buku ini pasti bagus!"

Saya pernah berdebat soal pencantuman gelar di dalam kover buku itu dengan beberapa orang. Memang ada beberapa akademisi, apalagi yang sudah melewati pendidikan S-2 dan S-3 tidak rela jika gelarnya tidak disebut-sebut di kover buku. Anehnya ketika menulis artikel ilmiah di jurnal ilmiah, mereka nurut. Namun, tidak untuk kover buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun