Hal ini menunjukkan perubahan kelembagaan yang menyebabkan aktivitas penerbitan dan pencetakan menjadi bagian dari rencana pendirian taman bacaan secara besar-besaran. Balai Pustaka pada zaman itu memiliki andil bagi munculnya daya literasi pada masyarakat Hindia Belanda meskipun di sisi lain ada banyak penerbit partikelir milik pribumi dan peranakan Tionghoa yang juga punya andil mencerdaskan bangsa.
Pada masa kini Balai Pustaka telah menjadi BUMN meskipun sebagai bisnis sepertinya "serbananggung". Saya setuju gagasan terdahulu dari Kementerian BUMN (2013) hendak menjadikan Balai Pustaka sebagai badan layanan umum (BLU) di bawah Kemendikbudristek. BP memang lebih baik menjalankan fungsi sebagai lembaga heritage sastra dan hanya menerbitkan buku sejalan dengan gerakan literasi yang lahir dari Kemendikbudristek.
Sebab jika memaksakan BP sebagai BUMN dalam beberapa dekade terakhir ini, tidak pula membuat BP menjadi penerbit kelas dunia atau bahkan, menguasai pangsa pasar buku di Indonesia.Â
BP sebagai penerbit meskipun menyandang status BUMN, ternyata sulit bersaing dengan penerbit swasta di Indonesia. Usia tua dan berpengalaman tidak membuat BP digdaya. Satu-satunya kedigdayaan BP ialah aset heritage yang dimilikinya.
Tentang Perpusnas dan Perpusnas Press
Di Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) telah berdiri sebuah unit penerbitan yang bernama Perpusnas Press sebagai lembaga penerbit. Tujuan Perpusnas Press tidak seperti pendirian Balai Pustaka pada masa Rinkes yang memproduksi buku-buku untuk koleksi taman bacaan. Ia didirkan awalnya untuk mengadakan buku-buku di bidang ilmu perpustakaan dan mewadahi pustakawan menghasilkan karya buku.
Namun, kemudian Perpusnas Press berkembang menjadi lembaga yang mewadahi aktivitas literasi secara luas seiring dengan bergemanya kegiatan literasi. Dalam lima tahun terakhir, Perpusnas Press aktif menyelenggarakan kegiatan seminar, lokakarya, bimtek, sayembara, dan penghargaan untuk penulis buku.
Perpusnas Press tidak berorientasi bisnis sehingga mereka tidak menjual buku yang diterbitkan. Buku-buku dari Perpusnas Press dapat diperoleh atau diakses secara gratis. Program akuisisi naskah Perpusnas Press umumnya menggunakan model sayembara dan pelatihan yang disebut sebagai inkubator penulisan. Hasilnya kemudian diterbitkan oleh Perpusnas Press. Para penulis mendapatkan penghargaan sebagai kompensasi.
Satu hal lagi, Perpusnas Press juga menyediakan akses untuk menyambungkan penulis dan penerbit. Ibaratnya menjadi mak comblang untuk naskah-naskah dari penulis ke penerbit jejaring Perpusnas. Langkah ini sah-sah saja sebagai entitas literasi yang fleksibel.
Apakah ini artinya Perpusnas RI berubah orientasi dari perpustakaan menjadi penerbit? Saya kira bukan dan tidak mirip seperti kasus BP. Institusi Perpusnas Press didirikan semata-mata sebagai unit pendukung aktivitas perpustakaan untuk menggairahkan kegiatan membaca dan menulis buku. Perpusnas Press tidak didirikan untuk memasok kebutuhan buku-buku di Perpusnas.
Gairah Menerbitkan Buku di Lembaga Pemerintah
Lembaga antirasuah, KPK, pernah dan sampai kini menerbitkan buku-buku pendidikan antikorupsi. Buku-buku yang diterbitkan sangat baik. Jelaslah lembaga itu bukan penerbit, tetapi ia menjalankan salah satu fungsi publikasi sebagai penerbit.Â
Hampir semua kementerian saya kira melakukan hal serupa, termasuk lembaga seperti DPR, OJK, BI, Bappenas, dan BNSP. Artinya, penerbitan buku tidak dapat dipisahkan dari aktivitas publikasi lembaga meskipun tidak ada unit penerbitan di situ. Fungsi ini paling umum dijalankan bagian humas. Akan tetapi, tidak semua humas pula menguasai penerbitan buku sehingga proyek penerbitan buku diserahkan ke personal atau usaha jasa penerbitan.