Dari pusat kota tempat kami tinggal ke kampung tak memakan waktu lama. Mungkin kisaran 20 menit bersepeda. Tujuan kami menjelang Ramadan ialah mencari batang bambu yang tumbuh subur di kampung itu.Â
Kami membelinya dari masyarakat setempat satu batang. Terkadang tidak perlu membeli, dipersilakan mengambil saja. Batang bambu itu kemudian digergaji dalam ukuran tertentu. Lalu, kami membawanya pulang untuk diubah menjadi "senjata" berdaya ledak alias meriam bambu.
Kami adalah saya dan teman-teman saya yang menghabiskan masa kecil di Kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara--sering juga disebut Tebing Tinggi Deli. Kota ini mendapat julukan "Kota Lemang" karena banyaknya sejak dulu penjual lemang batok (keturunan Minang) di Jalan K.H. Ahmad Dahlan yang lebih populer disebut kawasan Tjong A Fie.Â
Kota kecil ini merupakan jalur perlintasan antara Medan-Prapat. Dahulu jika orang ingin melancong dari Medan ke Danau Toba, umumnya melewati Tebing Tinggi--meksipun ada jalur lain dari Berastagi. Jika masuk ke dalam kota ada bagian kota yang menaik. Kami menyebutnya jalan penaikan. Sejarah kota ini dulu memang bermula dari sebuah tebing kecil. Bagian tertinggi di kota ini pun mustahil diterjang banjir dari Sungai Bahilang karena beberapa kali kota Tebingtinggi pernah mengalami banjir besar.
Tempat Saya Tinggal
Waktu itu tahun 1980-an ketika saya baru saja masuk SD. Saya dan teman-teman tinggal di jantung kota kecil ini. Kami menyebut tempat kami tinggal itu kompleks. Nah, bukan kompleks perumahaan, tetapi sebuah kompleks pabrik es di tengah kota. Itulah pabrik es Saripetojo yang juga ada di beberapa kota di Indonesia, seperti Medan, Jakarta, Bandung, dan Solo.Â
Pabrik es yang memproduksi es batangan ini merupakan pabrik peninggalan zaman Hindia Belanda. Cuaca panas pada iklim tropis seperti Indonesia membuat produksi es batu menemukan momentumnya untuk bertumbuh kembang.Â
Pada saat saya masih tinggal di sana era 1970--1980-an, produksi es batu itu merupakan pendukung bagi para nelayan untuk mengawetkan tangkapannya. Jadi, pelanggan utama pabrik es Saripetojo adalah nelayan atau tauke-tauke pemilik kapal ikan. Es untuk konsumsi rumah tangga dan restoran sedikit sekali pasarnya.Â
Jika saya gambarkan, kompleks itu merupakan bangunan pabrik, kantor, dan perumahan karyawan. Di belakang pabrik terdapat sungai dari aliran sungai Bahilang. Rumah karyawan ditata letak mengelilingi pabrik membentuk leter L. Sisi sebelah kanan pabrik dari depan ke belakang merupakan jalan masuk mobil. Adapun sisi kiri mulai berderet rumah karyawan sampai ke belakang. Saya sudah tidak ingat persis ada berapa rumah di sana.
Posisi rumah menunjukkan kelas karyawan. Posisi paling depan ditempati manajer perusahaan lalu diikuti staf dengan kedudukan paling tinggi hingga sampai ke belakang ditempati karyawan biasa bersama keluarganya.Â
Saya tinggal di rumah paling depan menghadap ke jalan raya. Pasalnya, ayah saya saat itu menjadi manajer di perusahaan itu. Jabatan tertinggi di sana sehingga berhak menempati rumah paling besar dan paling depan. Rumah bergaya arsitektur Belanda itu memiliki 3 kamar di bangunan utama lalu ada tiga kamar lagi di paviliun. Luas bangunan dan halaman kira-kira 2.000 meter persegi.