Beberapa tahun ini hampir setiap bulan lalu meningkat setiap minggu saya bepergian dari Cimahi ke Jakarta. Transportasi favorit saya adalah kereta api (KA) Argo Parahyangan. Terkadang saya duduk di kelas eksekutif dan terkadang di kelas premium. Seringnya saya duduk di restoran.
Saya memanfaatkan waktu untuk menulis di gerbong resto KA. Itu pun kalau situasinya mendukung. Soalnya memang dilarang bekerja dengan laptop di restoran meskipun sudah memesan makanan. Penumpang perlu juga bertenggang rasa dengan penumpang lain yang ingin makan-minum.Â
Biasanya saya sesuaikan dengan situasi. Kalau sepi, saya bertahan menulis di sana. Beberapa kali juga ada kondektur KA yang menegur agar saya segera menyingkir ke kursi penumpang. Kondekturnya yang suka "ngusir" saya tandai, ha-ha-ha.
Sejak ada KCIC alias Whoosh, saya pun lebih sering naik kereta 30 menitan ini Padalarang-Bandung pp. Impaknya boro-boro bisa menulis, tidur saja tak sempat.Â
Jadi, saya adalah orang yang menggunakan perjalanan untuk menulis. Saya tidak selalu menulis tentang perjalanan itu sendiri, tetapi menulis apa pun yang menjadi tugas saya. Sayang rasanya jika perjalanan, terutama yang panjang, dihabiskan hanya untuk makan-minum, ngobrol, dan tidur.
Ingatan tentang perjalanan dengan KA ini tiba-tiba memantik saya setelah beberapa minggu berlibur di Cimahi-Bandung saja, termasuk menjelang tahun baru. Saya rindu naik KA lagi melakukan perjalanan di atas rel besi.
Namun, tabrakan adu banteng antara KA Turangga dan KA Bandung Raya pada pagi hari Jumat (5 Januari 2024) kemarin benar-benar mengagetkan. Saya pun terbayang karena biasanya selepas subuh di KA dalam perjalanan dari Jateng atau Jatim, saya pasti ke resto untuk sekadar minum kopi dan tentu menulis. Subuh hari itu sangat efektif untuk menulis.
Terbayang jika musibah itu terjadi pada saya, pastilah kekagetan luar biasa. Laptop mungkin melayang entah ke mana. Karena itu, saya pun menyampaikan prihatin dan duka cita mendalam terhadap musibah KA Turangga vs KA Bandung Raya. Ada empat orang kru KAI yang tewas dan sisanya luka-luka, bahkan juga trauma.Â
Menabung Kenangan
Perjalanan itu sendiri, terutama ke tempat-tempat yang menakjubkan, memang sayang jika tidak dituliskan. Dalam istilah Hilmi Faiq, wartawan Kompas, catatan perjalanan itu ibarat tabungan kenangan.Â
Hilmi banyak melakukan perjalanan dalam tugas kewartawanannya. Saat pandemi Covid-19 melanda, ia harus berada di rumah, "menghentikan" sementara petualangannya. Di sinilah Hilmi mengalami situasi yang berat hingga disebutnya seperti mengalami cabin fever---situasi yang sudah melampaui titik jenuh akibat terlalu lama di rumah.
Menariknya, Hilmi melampaui semua itu dengan cara menulis buku. Ia menghimpun kembali artikel-artikel perjalanannya yang berserak. Hilmi melakukan self-healing bukan dengan perjalanan, tetapi menuliskan perjalanan itu sendiri. Ini sangat berhubungan dengan artikel saya sebelumnya bertajuk "Antara Menulis dan Kesehatan Mental".
Maka dari itu, Hilmi menulis buku bertajuk Mengabadikan Tabungan Kenangan: Cara Menulis Perjalanan. Buku ini sungguh memikat sebagai panduan menulis catatan perjalanan karena dilengkapi dengan contoh-contoh tulisan Hilmi. Buku ini juga sistematis sebagai panduan dengan gaya penulisan yang tidak membosankan.
Hanya, saya kurang suka kover buku berlatar foto gunung bersalju ini---tampaknya foto perjalanan milik Hilmi. Bukan karena fotonya, melainkan tipografi dan warna kover terlihat kurang bersemangat. Jika melihat dari kejauhan, buku ini kurang memikat.
Menulis tentang perjalanan itu walaupun dalam bentuk artikel-artikel ringkas ibarat sebuah tabungan. Contoh lain catatan perjalanan yang berbuah menjadi buku berkesan ialah karya Agustinus Wibowo. Salah satu bukunya bertajuk Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan mengukuhkan Agustinus sebagai travel writer kenamaan di Indonesia.
Beberapa buku yang berisikan tentang pengalaman perjalanan seseorang terbukti banyak memikat pembaca. Ada buku Geography of Bliss karya Eric Weiner yang isinya gado-gado antara perjalanan, psikologi, sains, dan humor. Eric melakukan perjalanan ke berbagai negara, yaitu Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, India, dan Amerika demi mencari kebahagiaan. Unik sekaligus menarik.
Kunci Menuliskan Perjalanan
Tulisan perjalanan atau travel writing merupakan satu genre dalam penulisan. Bentuknya dapat berupa esai atau feature yang banyak menggunakan wacana narasi dan deskripsi, serta tentu dilengkapi dengan foto-foto. Ia memang sering disampirkan pada orang-orang yang senang bepergian atau bertualang, bukan hanya ke tempat-tempat wisata, melainkan juga ke tempat-tempat berbahaya.
Kunci menuliskan perjalanan adalah mengaktifkan panca indra Anda secara optimal: penglihatan, pendengaran, penghidu, perasa, plus intuisi. Deskripsi menjadi kunci ketika Anda hendak menuliskan sesuatu, apakah itu sebuah peristiwa, manusia, alam, atau benda mati seperti kereta api.
Kedua, menarasikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan Anda, termasuk pikiran dan perasaan orang lain ketika mengobrol dengan Anda. Deskripsi dan narasi saling berdampingan dalam tulisan perjalanan yang kerap ditingkahi fakta-fakta unik dan terkadang eksentrik.
Saya ingat beberapa lagu lawas yang menggunakan deskripsi dan narasi memikat sekaligus mengharukan. Pertama, lagu Ebiet G. Ade berjudul "Berita kepada Kawan" dan "Titip Rindu buatAyah". Lalu, lagu "Perjalanan" dari Franky Sahilatua yang dinyanyikan Jane. Lagi-lagi lagu "Perjalanan" ini mengisahkan tentang perjalanan dengan kereta api malam.
Dengarkanlah kembali lagu-lagu itu, Anda akan terbawa arus kata-kata. Di dalamnya terdapat sarat pesan kehidupan.
Profesi Seksi sebagai Travel Writer
Dapatkah menuliskan perjalanan dijadikan sebagai profesi? Ya, tentu saja, apalagi jika Anda memang seorang jurnalis yang bertugas melakukan liputan ke berbagai tempat di Nusantara, bahkan dunia.
Tulisan tentang peristiwa, manusia, tempat, tradisi, dan sebagainya diperlukan sebagai konten. Anda juga dapat menjadi seorang penulis lepas spesialis catatan perjalanan. Misalnya, menjadi pengisi di majalah-majalah perjalanan miliki maskapai penerbangan. Tentu hal ini memerlukan kesiapan Anda bertualang ke mana pun.
Indonesia dalam sejarah penulisan pernah memiliki travel writer yang andal, yaitu Adinegoro dan HOK Tanzil. Adinegoro, tokoh wartawan Indonesia, melakukan lawatan jurnalistik ke beberapa negara Eropa. Ia kemudian menuliskan untuk beberapa media kala itu. Catatan perjalanan Adinegoro lalu dibukukan oleh penerbit Balai Pustaka.
Jejak tulisan perjalanan HOK Tanzil masih dapat kita baca saat ini, terutama dari buku terbitan Kompas-Gramedia.Â
Berdasarkan data Majalah National Geograhic Traveler edisi Indonesia, HOK Tanzil sudah menginjakkan kaki di 238 negara dan melintasi perbatasan sebanyak 741 kali. Data itu diperoleh dari 15 buku paspor yang ia miliki.Â
Untuk masa sekarang selain Agustinus Wibowo yang memang hobinya bertualang, ada juga Trinity. Perempuan ini mengklaim dirinya sebagai travel blogger Indonesia pertama lewat blog naked-traveler.com. Ia membukukan catatan perjalanannya pada tahun 2007 melalui seri The Naked Traveler. Buku ini terbit berjilid-jilid hingga kemudian di akhiri dengan buku The Naked Traveller 8.
Kata the naked plesetan dari kata 'nekad' dalam bahasa Indonesia. Namun, secara maknawi, tulisan perjalanan dari Trinity memang "telanjang" apa adanya dan gamblang, tanpa harus dibungkus dengan cerita  yang bagus-bagus belaka. Buku The Naked Traveller patut menjadi pegangan para travel writer profesional.
Jadi, yang namanya travel writer itu kagak ada matinye. Emang bisa seabadi itu?Â
Selama masih ada tempat di bumi yang dapat dikunjungi maka selama itu sebuah perjalanan dapat dituliskan. Profesi ini "seksi" bagi para petualang yang ingin mendapatkan sumber pendapatan dari menulis.
Jika menjadi profesi, tentu harus dituliskan secara profesional dengan berbagai sudut pandang menarik. Bumbunya, di antaranya ketegangan, kekonyolan (humor), keberanian, kenyataan, dan kebajikan-kebajikan.
***
Sebagai penutup saya mau berkisah sedikit tentang penulis bernama Sheibasari. Saya memanggilnya dengan Mbak Sari. Ia dulu hanya staf administrasi di sebuah penerbit, tempat saya berkhidmat merintis karier sebagai editor. Sering saya candai kalau sedang gabut dan ia pun spontan berkomentar: nggilani!
Jelas, saya tidak mengenalnya sebagai penulis, apalagi petualang. Sampai kemudian ia mengontak saya dan mengirimkan bukunya. Ia meminta saya memberikan komentar pada bukunya. Saya tidak percaya ia mampu menulis dan bahkan, melakukan perjalanan naik sepeda motor sendirian.
Rupanya Mbak Sari melanjutkan pendidikan komunikasi di Unpad. Itu mungkin menjadi latar kemampuan menulisnya. Lalu, dengan "nekad" melakukan perjalanan bersepeda motor seorang diri ke Sumatra. Ia menulis dan membukukan perjalanannya sebagai buku perdana bertajuk Solo Female Bikepacker: Bandung-Sabang pp.Â
Mbak Sari, perempuan tangguh dengan motornya sudah melintasi Pulau Jawa, Bali, Madura, Lombok, Sumatra sampai dengan Aceh dan Sulawesi. Entah sekarang sudah sampai ke mana saja. Buku keduanya Solo Female Bikepacker Celebes juga dikirimkan kepada saya. Kembali saya berdecak kagum meskipun ia tidak tahu saya benar-benar kagum.Â
Kedua buku itu diterbitkan oleh Grasindo. Anda harus membacanya sebagai travel writer.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI