Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Antara Menulis dan Kesehatan Mental

4 Januari 2024   08:53 Diperbarui: 5 Januari 2024   06:04 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama saya ingin membeli dan membaca buku best seller itu. Namun, beberapa bulan lalu baru kesampaian dan itu pun tidak langsung dibaca setelah dibeli. Lama ia berdiam di rak buku meskipun plastik pelindungnya sudah saya buka.

Saya membeli buku versi kover keras dan di halaman imprint tertera cetakan ke-50. Ini sungguh masuk kategori megabest seller, bukan best seller karena klaim tidak jelas. Soalnya, terus bertahan mengalami cetak ulang. Cetakan ke-1 2018 dan cetakan ke-50 Juli 2023. Lima tahun buku ini bertahan untuk mencapai angka penjualan lebih dari 200 ribu eksemplar.

Kok bisa buku selaku itu? Ya, makanya nulis tentang kesehatan mental.

Saya tidak akan meresensi buku Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Saat ini karya Henry Manampiring ini. Sudah banyak artikel yang telah mengulas isi buku ini. Orang-orang merasa tercerahkan dengan buku yang ditulis "ringan"  meskipun isinya mungkin seberat daging kurban 10 kilo.

Henry atau Piring (begitu ia biasa dipanggil), seorang Gen X yang sempat mengalami major depressive disorder dalam istilah psikologi klinis, mampu melepaskan dirinya dari kebergantungan obat antidepresi---sebagaimana dikisahkan dalam prakata buku. Semua berawal ketika ia menemukan sebuah buku tentang Stoisisme dan mempraktikkannya demi memulihkan mentalnya.

Sedikit tentang Stoisisme

Saya tidak perlu membahas panjang lebar soal buku ini. Anda harus membacanya. Serbasedikit saja tentu perlu untuk melihat gagasan penulisan.

Piring mengulas ajaran filsuf Yunani-Romawi kuno yang muncul 2.300 tahun lalu, sebelum adanya agama Kristen dan Islam. Disebut Stoisisme karena dipungut dari bahasa Yunani, stoa, sebutan untuk teras berpilar. 

Filsafat Stoisisme bermula dari seseorang bernama Zeno. Ia adalah saudagar kaya dari Siprus. Kapalnya yang penuh muatan barang berharga karam, tetapi ia selamat lalu terdampar di Athena. Zeno telah kehilangan segalanya.

Saat berjalan menggelandang di Athena, Zeno mampir ke sebuah toko buku. Ia menemukan sebuah kitab yang ditulis seorang filsuf. Tergerak hatinya untuk belajar dari para filsuf di tengah rasa kehilangan luar biasa. Pemilik toko buku menunjukkan seorang filsuf yang kebetulan lewat. Zeno lalu mengikuti sang filsuf dan berguru padanya. Zeno bahkan belajar lagi kepada beberapa filsuf lain.

Singkat cerita kemudian Zeno mengajarkan filosofinya sendiri di stoa. Pengikutnya disebut kaum stoa atau dikenal juga sebutan stoic. Henry Manampiring lalu menggunakan istilah Filosofi Teras sebagai pengganti Stoisisme agar mudah dibaca dan diingat oleh orang Indonesia. Benar juga, menarik!

Ajaran ini juga sampai pada Kaisar Marcus Aurelius. Lima dari Kaisar yang Baik dalam sejarah Romawi kuno. Sosoknya yang diperankan oleh Richard Harris, muncul 15 menit awal dalam film legendaris Gladiator. Peran utama film itu sebagai Maximus tentu Anda sudah tahu, Russell Crowe. Jika belum menonton, segera lacak di ponsel Anda.

Kaisar Marcus dipercayai telah menulis buku yang masih diterbitkan sampai sekarang bertajuk Meditations yang mengandung prinsip hidup Stoisisme. Versi bahasa Indonesianya juga sudah tersedia.

Sang Kaisar adalah penganut Stoisisme yang menjadi pemimpin dalam politik dan peperangan. Kita dapat membayangkan bagaimana pergulatan seorang raja pada saat itu menerapkan Stoisisme di tengah peperangan yang mematikan. Bagaimana ia dapat tetap menjadi bijak dengan kebajikan?

Stoisisme berkaitan dengan cara manusia mengendalikan emosi-emosi negatif dalam dirinya dan hidup untuk mengasah kebajikan (virtues). Hal itulah yang dipraktikkan dan dibagikan oleh Piring ketika berusaha memulihkan mentalnya dan menghambat pikiran negatif yang mewarnai hidupnya. 

Benar bahwa prinsip-prinsip Stoisisme juga ada di dalam kearifan lokal bangsa Indonesia dan kebajikan yang diajarkan oleh agama-agama. Namun, Stoisisme bersifat inklusif dan bukan dogmatis karena memang bukan agama atau aliran kepercayaan.  Stoisisme dapat dipraktikkan oleh siapa pun.

Sebagai "gagasan baru" yang dipungut dari konsep purba lebih dari dua milenium yang lalu, dengan cepat filosofi ini menjalar ke mana-mana. Menjelang cetakan ke-50, buku Henry telah terjual 275.000 eksemplar. Buku-buku lain tentang Stoisisme sebagaimana kelaziman yang selalu terjadi pun kemudian diterbitkan. Salah satunya buku yang dibaca oleh Henry, How to Be a Stoic karya Massimo Pigliucci.

Stoisisme berfokus pada perihal apa yang bergantung pada kita dan apa yang tidak bergantung pada kita. Jika sesuatu bergantung pada kita atau dalam kuasa kita, beranilah mengubahnya. Namun, jika sesuatu tidak bergantung pada kita atau di luar kuasa kita, terimalah apa adanya. 

Marcus Aurelius oleh Keith Binns/Getty Images
Marcus Aurelius oleh Keith Binns/Getty Images

Tujuan utama Stoisisme bukanlah kebahagiaan, melainkan bagaimana emosi-emosi negatif disingkirkan. Karena itu, dalam pandangan manusia stoik, kebahagiaan adalah ketiadaan gangguan, penderitaan, dan emosi negatif (amarah, kecewa, getir, dan iri dengki).

Satu konsep dalam Stoisisme yang menarik ialah terkait dengan pikiran positif. Hal ini juga sering menjadi "jualan" para motivator. Piring menyentil buku Rhonda Byrne, The Secret, yang menganjurkan pikiran positif untuk menghasilkan hukum ketertarikan (law of attraction) sehingga apa yang kita inginkan dapat terjadi. Ternyata tidak segampang itu, Jenderal!

Perkembanga terbaru ilmu psikologi menemukan adanya potensi masalah dalam berpikir positif karena sering menghambat---Piring mengutip sebuah artikel di New York Times bertajuk "The Problem with Positive Thinking" karya Gabriele Oettingen. Penelitian menunjukkan mereka yang menerapkan cara berpikir positif dalam mencapai suatu tujuan justru  hasilnya lebih buruk daripada mereka yang tidak menerapkannya. 

Gabriele menganjurkan istilah mental contrasting, yaitu menggabungkan positive thinking (membayangkan hasil yang diharapkan telah tercapai) dengan memikirkan hambatan-hambatan apa saja yang akan dihadapi. 

Artikel lain mengungkapkan bahwa justru berpikir positif dapat menyebabkan beberapa orang mengalami depresi saat gagal. Sebabnya, secara "implisit" mereka menyalahkan diri sendiri karena tidak berbahagia.

Pemulihan Mental sebagai Gagasan

Masih ingat buku The Secret, Rhonda Byrne yang lakunya nggak ketulungan? Rhonda mengklaim ia baru mengetahui tentang ilmu yang selama ini terpendam, bahkan sengaja dipendam. Sebuah ilmu yang dipraktikkan oleh tokoh-tokoh dunia hingga mencapai suatu kesuksesan. Rhonda memungut gagasan dari masa lalu.

Lalu, mirip walaupun tidak sama persis, Henry Manampiring juga memungut gagasan untuk bukunya dari filosofi masa lalu yang kurang dikenal di Indonesia. Orang Indonesia kalau disodori topik filsafat, apalagi dari Yunani-Romawi kuno, bawaannya pasti sudah nggak enak. Tapi, yang dibawa oleh Henry atau Piring ini berbeda sehingga tanpa diduga direspons ratusan ribu pembaca di Indonesia.

Ia menyampaikannya dengan gaya story telling dan copy writing. Sejak awal ia juga mengatakan ini bukan filsafat yang berat, siapa pun dapat menerapkannya. 

Baiklah, Stoisisme adalah salah satu gagasan yang berkaitan dengan pemulihan mental di tengah "perang" yang kita hadapi: perang di media sosial; perang di kompleks perumahan; perang di perkantoran dan karier; perang dagang; perang di keluarga; perang antargeng. Semua itu  sesuatu yang tidak dapat kita hindari, kecuali angkat kaki segera lebih awal ke IKN. He-he-he. 

Lalu, perang-perang lainnya yang tentu tidak dapat dibanding dengan perang sesungguhnya bertaruh nyawa, seperti di Ukraina dan Gaza, Palestina. Namun, perang-perang di dalam kehidupan itu sudah cukup meluluhlantakkan mental.

Sebelum membaca buku Filosofi Teras, saya berkesempatan membaca naskah buku bertajuk Perspektif yang ditulis oleh Mbak Naftalia Kusumawardhani, seorang psikolog klinis. Buku ini berbasis pengisahan tentang orang-orang yang "berperang" dengan persepsinya. Sebuah kehormatan ketika Mbak Naftalia memberi kesempatan kepada saya untuk mengantarkan buku ini dengan beberapa paragraf.

Topik tentang kesehatan mental seperti yang sebelumnya juga diangkat oleh Marcella dalam buku fiksi bertajuk Nanti Kita Cerita tentang Hari ini memang lagi happening sejak beberapa tahun ke belakang. Gen Y (milenial) dan Gen Z mengalami situasi yang sangat berbeda pasca tahun 2000. Situasi yang boleh dibilang lebih sulit atau dianggap lebih toxic bagi mereka sehingga sedikit-sedikit memengaruhi kesehatan mental.

Kaum muda itu sebagian besar tampaknya tidak memiliki akar yang kukuh dalam pengasuhan dan pendidikan di keluarga dan sekitarnya sehingga begitu rapuh. Mereka tidak memiliki perpaduan antara hasrat, kegigihan, dan ketabahan---dibahas oleh Angela Duckworth dalam bukunya GRIT: Kekuatan Passion & Kegigihan. Mereka juga belum memiliki kecerdasan kegetiran (adversity quotient) seperti yang pernah diulas di dalam buku oleh Paul G. Stoltz.

Orang-orang semakin banyak menghadapi masalah kesehatan mental yang menyebabkan "sakit jiwa ringan" dan akhirnya "sakit jiwa akut". Karena itu, gagasan ini telah menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir untuk diusung ke dalam tulisan, baik berupa artikel/esai maupun buku. 

Ia menjadi gagasan yang dituliskan sebagai topik psikologi populer, filsafat, dan kesehatan. Sebagai penulis, Anda dapat memilih topik ini dengan sudut pandang yang lain, misalnya sudut pandang agama atau sebagai karya fiksi.

Awal tahun 2023, saya sempat berkunjung ke Kuala Lumpur, Malaysia. Saya bersua teman dari sebuah penerbit besar di sana. Sang teman meminta saya untuk dapat menghubungkannya dengan penulis buku di Indonesia. Tema yang dicari apa lagi kalau bukan kesehatan mental, tentu dengan konsep pemulihannya. Topik ini juga tengah menjadi tren di Malaysia.

Terapi Menulis sebagai Gagasan 

Artikel saya ini mengandung dua makna. Pertama seperti yang sudah saya bahas bahwa kesehatan mental atau pemulihan mental dapat dijadikan topik penulisan yang diperlukan banyak orang. Anda dapat "mendompleng" sukses Filosofi Teras dengan tulisan bernas lainnya.

Kalau kita lihat, kesuksesan Henry Manampiring juga dilatari bahwa ia melakukan riset dan menjadikan dirinya sendiri sebagai "kelinci percobaan". Hal ini yang jarang dilakukan oleh seorang penulis di Indonesia. Di sisi lain, Piring adalah orang iklan (praktisi periklanan) dan menguasai strategi komunikasi serta banyak bergelut di bidang riset perilaku konsumen. Latar pendidikan S-1-nya tidak nyambung sama sekali, Ekonomi Akuntansi.

Piring mengangkat topik yang tepat pada saat yang tepat. Tepat sebelum Indonesia dan dunia diguncang pandemi Covid-19. Maka dari itu, pas terjadi dan pasca-Covid-19, buku ini makin laku dan terus melaju.

Lalu, yang kedua ternyata memang ada hubungan antara menulis dan kesehatan mental. Artinya, menulis dapat berpengaruh sebagai terapi mental. Saya ungkapkan penelitian Pennebaker dan Sandy berikut ini yang termuat di dalam buku Opening Up by Writing it Down: How Expressive Writing Improves Health and Eases Emotional Pain karya Pennebaker dan Smyth. Saya juga menuliskannya di buku Mengubah Tangisan Menjadi Tulisan.

Sebuah eksperimen dilakukan oleh Dr. James W. Pennebaker, seorang psikolog, dibantu mahasiswanya di kelas pascasarjana, Sandy Beal. Mereka menguji sekelompok mahasiswa (46 orang) untuk menuliskan pengalaman traumatis. Para mahasiswa sukarelawan itu diimingi imbalan angka kredit. Mereka terlebih dulu dievaluasi kesehatannya berdasarkan kekerapan kunjungan ke klinik kesehatan.

Dalam sebuah taklimat, para mahasiswa itu diberi tahu akan diminta menuliskan sesuatu yang sangat pribadi. Jika mereka berkeberatan, dipersilakan untuk mundur setiap saat jika tidak ingin menuliskannya. Hanya dua orang yang kemudian diketahui tidak hadir dalam pertemuan selanjutnya.

Para mahasiswa diminta menulis selama 15 menit setiap hari dalam rentang waktu empat hari berturut-turut. Mereka menulis secara anonim (tanpa nama), tetapi memberi kode pada kertas kuesioner dan esai yang mereka buat. Bahkan, esai yang mereka buat boleh disimpan, tidak diserahkan kembali. Jadi, hasil penulisan itu bersifat sangat tertutup dan sangat rahasia.

Untuk menghindari bias eksperimen, para mahasiswa dibagi ke dalam empat kelompok. Tiga kelompok menulis terkait dengan pengalaman traumatis dengan kedalaman yang berbeda. 

Kelompok pertama hanya diminta menulis emosi yang mereka rasakan tanpa harus mengisahkan latar belakang trauma. Kelompok kedua hanya mengungkap fakta-fakta seputar trauma tanpa disertai emosi atau perasaan mereka. Kelompok ketiga menuliskan pengalaman traumatisnya berikut pikiran dan perasaannya saat terjadi peristiwa dan setelah terjadi peristiwa tersebut.

Satu lagi kelompok pembanding yang hanya menulis berkaitan dengan khayalan atau sesuatu yang tidak relevan dengan kehidupan mereka. Kelompok pembanding ini diperlukan untuk melihat apakah menulis apa saja juga berpengaruh terhadap kesehatan.

Pennebaker dan Sandy menemukan bahwa menulis sebagai sarana pelepasan emosi negatif dapat memulihkan keadaan seseorang terkait kesehatan mental dan fisiknya. Temuan yang diungkap dari eksperimen menulis ini bahwa dalam waktu 2,5 bulan sebelum dan 5,5 bulan setelah eksperimen, menunjukkan penurunan kunjungan ke klinik kesehatan pada orang-orang yang menuliskan pengalaman mereka dengan pikiran dan perasaan terdalam hingga 50% dari rata-rata kunjungan tiap bulan.

Temuan berbeda diperoleh pada kelompok mahasiswa yang tidak menuliskan pikiran dan perasaannya secara mendalam atau
hanya berupa fakta. Demikian pula kelompok mahasiswa yang hanya menuliskan topik khayalan. Tetap ada kunjungan ke klinik kesehatan rata-rata 1,5 kali setiap bulan.

Simpulannya menulis dengan pikiran dan perasaan terdalam tentang sebuah trauma yang dialami akan menghasilkan suasana hati
yang lebih baik, pandangan yang lebih positif, dan kesehatan fisik yang lebih baik. Menulis artinya dapat berfungsi sebagai pemulihan, baik kesehatan mental maupun kesehatan fisik, bagi mereka yang mengalami gangguan. Fungsi kekebalan tubuh juga akan meningkat.

Namun, Pennebaker menegaskan bahwa jika ingin menjadikan tulisan sebagai terapi, tulisan tersebut setelah selesai harus disimpan rapat-rapat atau dimusnahkan. Jika dibagikan kepada orang lain seperti ke media sosial, malah dapat berakibat lain. 

Mari Menulis tentang dan untuk Kesehatan Mental

Artikel atau buku-buku tentang motivasi, termasuk tema self-help, telah banyak dipublikasikan. Ada yang mencibir tulisan-tulisan itu dibuat oleh mereka yang sebenarnya tidak pernah mengalami kegetiran di dalam hidupnya. 

Ngomong dan nulis sih gampang .... Faktanya lu kecebur di empang.

Walaupun begitu, ada banyak tulisan memang disusun berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya sehingga lebih mengena dan membumi seperti Piring dengan Filosofi Teras-nya. 

Mereka yang literat lebih memercayai riset dan peran penulisnya dalam konteks yang sedang dibahas. Bukan sekadar mengutip di sana sini.

Maka dari itu, jika Anda hendak masuk ke rimba tulisan self-help dengan topik kesehatan mental, pastikan Anda memiliki amunisi yang cukup untuk "berperang" dalam gagasan, terutama pengalaman. Tawarkan gagasan yang segar meskipun bukan gagasan baru. Gagasan yang dapat diterapkan (membumi) meskipun Anda membahas soal Ellon Musk yang menyediakan jasa wisata ke luar angkasa. 

Jika Anda hendak menjadikan tulisan sebagai terapi kesehatan mental, tuliskan dari pikiran dan perasaan terdalam---tulisan ekspresif. Di sini Anda tidak perlu memperhatikan tata tulis dan tata bahasa, apalagi teknik menulis yang baik. Tulis saja untuk Anda dan hanya untuk Anda. Tidak perlu dipublikasikan karena akan menjadi bumerang.

Filosofinya: saya menulis karena saya ada; dan saya menulis karena saya berada. Berada karena kaya oleh pikiran, perasaan, dan pengalaman atas karunia Tuhan. 

Selamat bereksperimen. Salam insaf!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun