Buku dalam sejarahnya di bumi Nusantara ini selalu menjadi magnet bagi banyak orang karena ada banyak "misteri" di balik kelahiran sebuah buku. Pameran buku merupakan pintu untuk membuka misteri-misteri itu dan jendela untuk sekadar melongok kemeriahan gagasan yang dituliskan.
Apa kabar pameran buku? Dikau selalu membuat rindu.Â
Sejarah pameran buku di Indonesia sudah berlangsung lama. Tahun 1953 pameran buku akbar diprakarsai oleh Tjoe Wie Tay (Haji Masagung) yang mendirikan Toko Buku dan Penerbit Gunung Agung.Â
Tahun 1954, kembali Tjoe Wie Tay menggelar Pekan Buku Indonesia 1954 yang dihadiri oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Ia pun diminta menggelar pameran buku di Medan tahun 1954 ketika berlangsung perhelatan Kongres Bahasa Indonesia.
Tjoe Wie Tay dan Gunung Agung boleh dibilang perintis pameran buku Indonesia pertama setelah kemerdekaan, bukan Ikapi. Walaupun kini, kita hanya dapat mendengar riwayat Toko Gunung Agung yang rontok oleh zaman dan tersisa di tempat ia kali pertama didirikan, yakni di Kwitang, Jakarta Pusat.
Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (2000, hlm. 186-216) mengisahkan kepada anaknya bahwa ia bertemu dengan ibunya pada saat Pekan Buku Indonesia 1954. Sang ibu, Maemunah Thamrin, menjadi salah seorang penjaga stan di pameran buku itu.
"Untuk pertama aku melihat ibumu dalam bulan Oktober atau Nopember 1954 di Pekan Buku, diselenggarakan oleh perusahaan buku Gunung Agung. Ibumu menjaga salah sebuah stand," begitu tulis Pram.
Perjumpaan jodoh itu disebut-sebut mengubah hidup Pram yang terpuruk. Ternyata pameran buku menyisipkan banyak kisah bagi para penulis, termasuk Pramoedya Ananta Toer. Bagi saya pribadi, pameran buku juga banyak menyisipkan kisah di balik karier saya di dunia perbukuan.
Apa kabar pameran buku? Dikau selalu memantik rindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H