Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menerbitkan Buku Sendiri "Bukan Budaya Kita"

19 Juli 2022   06:48 Diperbarui: 19 September 2022   14:57 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena itu, sejatinya buku telah menjadi budaya Indonesia pada masa kolonial Belanda yang diinisiasi oleh kaum bangsawan (sebab mereka memiliki akses terhadap kemampuan baca-tulis dan bacaan) lalu kaum terpelajar. Saat krisis yang terjadi tahun 1960-an, budaya buku agak tersendat. 

Masyarakat lebih memilih bahan pokok daripada buku. Saat Orde Baru berkuasa, buku digiatkan, tetapi telah hadir pesaing buku bernama televisi. Budaya buku sedikit menjauh meskipun usaha penerbitan buku yang didominasi oleh penerbit buku teks (pelajaran) tetap berdiri.

Memang ada semacam "rantai putus" dari Zaman Pergerakan hingga Zaman Perang Kemerdekaan ketika para pemimpin bangsa adalah "orang-orang buku". Mereka bukan hanya pembaca yang rakus, melainkan juga penulis yang ulung.

Zaman ini juga melahirkan banyak sekali sastrawan dan para penulis yang mumpuni dengan latar belakang bacaan yang mencengangkan. Namun, pada masa Orde Baru para pejabat "senang sekali" menyebut masyarakat kita tidak gemar membaca atau tidak memiliki budaya membaca buku. Faktanya memang terjadi degradasi kebiasaan membaca meskipun pada zaman itu situasi dan kondisi bangsa sudah membaik.

Kongres Perbukuan Nasional I pada tahun 1995 yang diselenggarakan Pusat Perbukuan merekam puluhan permasalahan di dalam industri buku, tidak terkecuali masalah minat dan budaya membaca yang rendah. Sastrawan Taufiq Ismail pernah secara lantang menyatakan telah terjadi tragedi nol buku. Anak-anak sekolah tidak lagi "dipaksa" membaca buku sehingga tidak lagi mengenal karya-karya sastra yang bernilai tinggi.

Pada masa tahun 1980-an hingga awal 2000-an, penerbitan buku masih mengandalkan industri percetakan. Cetak massal harus dilakukan untuk menekan harga jual buku. Angka tiras pertama 3.000 eksemplar menjadi acuan skala ekonomi. Angka ini dianggap menjadi sebuah "kutukan" karena buku-buku yang terbit di Indonesia sulit terjual lebih dari 3.000 eksemplar atau malah kurang dari itu. Biang kerok yang sering ditampilkan adalah rendahnya minat membaca.

Kebijakan pemerintah seperti subsidi kertas, pajak perbukuan, dan lainnya masih mengemuka yang dianggap menjadi penyebab harga buku mahal. Buku tidak terjangkau, tetapi di satu sisi produk lain selain buku justru laku, seperti kaset, CD, DVD, lalu kini pulsa dan kuota internet.

Ekosistem Perbukuan

Ekosistem perbukuan merupakan ekosistem yang unik dan kurang banyak diketahui oleh awam. Masyarakat Indonesia pernah atau sampai sekarang masih ada yang tidak dapat membedakan antara penerbit dan pencetak (percetakan), bahkan terjadi juga di lembaga pemerintah. 

Ekosistem ini melibatkan dua unsur, yaitu unsur eksternal pemasok naskah (penulis, penerjemah, dan penyadur) dan unsur internal penggarap naskah (editor, desainer, ilustrator). Selain itu, ada lagi unsur pencetak (percetakan) dan unsur toko buku.

Iklim perbukuan di Indonesia pada beberapa dekade digambarkan kurang sehat karena rendahnya minat membaca dan minat membeli buku orang-orang Indonesia. Tahun 2000-an digambarkan masyarakat Indonesia lebih senang membeli CD/DVD daripada buku. 

Tahun 2010-an hingga kini digambarkan masyarakat lebih senang membeli pulsa dan kuota daripada buku. Ini masalah yang tidak pernah ada habisnya dibahas sehingga menimbulkan gerakan literasi. Kadar literasi bangsa Indonesia berdasarkan survei CCSU (Center Connecticut State University) di AS berada pada posisi 40 dari 41 negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun