Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Filosofi Rendang di Balik Keberatan Orang Minang

14 Juni 2022   06:54 Diperbarui: 15 Juni 2022   14:31 1780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen berjudul "Rendang Buatan Ibu" karya Ahda Imran (Media Indonesia/2016) menjadi pilihan saya untuk dijadikan bahan pembelajaran pada buku Bahasa Indonesia kelas XII, Kurikulum Merdeka, terbitan Pusat Perbukuan. Cerpen itu sangat menarik meskipun mengangkat tema sederhana tentang rendang. 

Seorang lelaki bernama Sal dengan sudut pandang orang ketiga dikisahkan sebagai pengunjung sebuah kedai nasi masakan Minang. Sang ibu sudah tiada dan ia merasa tidak ada rendang seenak buatan ibunya. Sampai ia menemukan rendang di kedai nasi itu. Ia hanya memakan rendang dan sambal cabai hijau, tidak yang lainnya.

Ia menikmati rendang dengan penuh perasaan. Menggunakan tiga ujung jari untuk menjumput dedak rendang lalu membenamkannya ke dalam nasi. Dua jarinya mengoyak daging rendang yang disatukan dengan nasi. 

Sungguh menarik karena cerpen ini menggunakan dua sudut pandang pencerita. Satu sudut pandang istri pemilik kedai nasi dan satu lagi sudut pandang istri Sal, si lelaki penyuka rendang buatan ibu.

Saat UAS mata kuliah Penyuntingan Fiksi di Prodi Penerbitan Polimedia kemarin, cerpen ini saya jadikan soal. Sedikit sekali mahasiswa saya mampu menebak sudut pandang ini karena mungkin mereka terburu-buru membaca cerpen apik ini. Malah ada yang berkomentar cerpen ini membingungkan. Sebenarnya tidak, malah menarik bagi pembaca memahami cerita dari dua sudut pandang dengan topik yang sama. Bahkan, cerpen ini disisipi konflik soal sewa-menyewa kedai dan persaingan usaha dengan latar ketamakan.

Cerpen ini sebersit melintas di pikiran saya saat membaca berita polemik rendang babi. Informasi lama yang diangkat kembali lalu viral. Polemik pun terjadi di media sosial, bahkan melebar seakan-akan rendang pun diagamakan sebagai hanya milik orang Islam atau dalam hal ini, orang Minang yang identik dengan Islam.

Jika yang berkomentar bukan orang Minang, tentu dapat dipahami karena belum memahami filosofi rendang. Jika ditikkan di Google frasa 'filosofi rendang', akan keluar banyak informasi tentang filosofi rendang. Jadi, bukan hanya kopi yang mengandung filosofi, rendang juga. 

Berdasarkan bahannya, yaitu daging, kelapa, cabai, dan bumbu mengandung makna. Keempatnya bermakna kaum ninik mamak/ketua adat (daging), kaum cendekiawan (kelapa), kaum alim ulama (cabai), dan kaum masyarakat yang heterogen (bumbu). Unsur cabai menunjukkan kearifan lokal adaik basandi sarak, sarak basandi kitabullah yang kental dengan atmosfer keislaman. Alim ulama tegas dengan prinsipnya berbasis hukum agama.

Jika kemudian ada babi yang direndangkan atau rendang yang dibabikan, otomatis filosofi itu tercerabut, terutama cabai. Meskipun cabai mahal dan harganya meroket seperti Space-X, rendang tanpa cabai, ya bukan rendang namanya. Rendang babi tidak pakai cabai juga kehilangan makna sebagai rendang. Kesimpulannya apa pun dapat direndangkan dan siapa pun dapat membuat rendang bukan lagi berbahan lazim seperti daging sapi/kerbau.

Orang Minang tidak perlu meradang; orang Minang hanya berkeberatan filosofi rendang tercemari ketidakhalalan yang selama ini melekat pada rendang. Karena itu, jika hendak merendangkan babi, cukup dilakukan sendiri dan jika pun dikomersialkan, tidak disebut sebagai rendang babi Minang/Padang dan menggunakan simbol Suku Minang, seperti rumah gadang dan bahasa Minang.

Rendang mengandung filosofi dan sejarah yang cukup panjang. Entah berapa banyak lelaki seperti tokoh Sal dalam cerpen Ahda Imran yang meletakkan rendang di hatinya sebagai makanan romantis penuh makna. Begitu nikmatnya rendang buatan ibu seperti juga buatan ibu saya yang berasal dari Lubuk Basung, Padang Pariaman, bersuku Chaniago. 

Jadi, ketika menulis artikel ini, saya menggunakan keminangan saya meskipun nama saya Bambang. Saya juga berkeberatan jika ada simbol nonhalal digunakan pada makanan hasil ciptarasa kearifan lokal yang kental dengan nilai keislaman. Itu sebabnya diperlukan juga pemahaman gastronomi Indonesia terkait kuliner Nusantara. 

William Wongso yang menemani Gordon Ramsey memasak rendang, juga berkomentar menyampaikan opininya tentang penyebutan kata Padang pada rendang babi sebagai sesuatu yang kurang elok. Begitu pula sejarawan Fadly Rahman yang menulis buku Jejak Rasa Nusantara memberi pesan untuk menghormati kearifan lokal suatu daerah.

Kreativitas mengolah rendang memang terjadi kemudian bahwa tidak lagi daging sapi yang direndang, tetapi juga hati dan paru yang masih merupakan unsur sapi. Lalu ada rendang ayam, rendang telur, dan juga yang sangat nikmat, rendang jengkol. Jika berkunjung ke Padang, sebuah rumah makan terkenal selalu saya singgahi hanya untuk membeli rendang jengkol lalu membawanya sebagai oleh-oleh untuk "orang rumah".

***

Merendangkan babi atau membabikan rendang boleh dipandang sah saja dilakukan siapa pun---sebentuk kreativitas, termasuk merendangkan biawak, membiawakan rendang. Syaratnya tidak melabelinya sebagai masakan Minang/Padang, apalagi dikomersialkan sebagai jenama dagang nonhalal. Hal ini tidak perlu diperpanjang dengan pemikiran tentang mengagamakan rendang.

Pelakunya sudah meminta maaf dan peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang Indonesia yang unik. Peristiwa yang dulu tidak pernah terpikirkan, sekarang sangat mungkin terjadi dengan munculnya generasi baru yang punya gagasan plus inovasi baru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun