Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Filosofi Rendang di Balik Keberatan Orang Minang

14 Juni 2022   06:54 Diperbarui: 15 Juni 2022   14:31 1780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rendang| Ika Rahma/Getty Images

Rendang mengandung filosofi dan sejarah yang cukup panjang. Entah berapa banyak lelaki seperti tokoh Sal dalam cerpen Ahda Imran yang meletakkan rendang di hatinya sebagai makanan romantis penuh makna. Begitu nikmatnya rendang buatan ibu seperti juga buatan ibu saya yang berasal dari Lubuk Basung, Padang Pariaman, bersuku Chaniago. 

Jadi, ketika menulis artikel ini, saya menggunakan keminangan saya meskipun nama saya Bambang. Saya juga berkeberatan jika ada simbol nonhalal digunakan pada makanan hasil ciptarasa kearifan lokal yang kental dengan nilai keislaman. Itu sebabnya diperlukan juga pemahaman gastronomi Indonesia terkait kuliner Nusantara. 

William Wongso yang menemani Gordon Ramsey memasak rendang, juga berkomentar menyampaikan opininya tentang penyebutan kata Padang pada rendang babi sebagai sesuatu yang kurang elok. Begitu pula sejarawan Fadly Rahman yang menulis buku Jejak Rasa Nusantara memberi pesan untuk menghormati kearifan lokal suatu daerah.

Kreativitas mengolah rendang memang terjadi kemudian bahwa tidak lagi daging sapi yang direndang, tetapi juga hati dan paru yang masih merupakan unsur sapi. Lalu ada rendang ayam, rendang telur, dan juga yang sangat nikmat, rendang jengkol. Jika berkunjung ke Padang, sebuah rumah makan terkenal selalu saya singgahi hanya untuk membeli rendang jengkol lalu membawanya sebagai oleh-oleh untuk "orang rumah".

***

Merendangkan babi atau membabikan rendang boleh dipandang sah saja dilakukan siapa pun---sebentuk kreativitas, termasuk merendangkan biawak, membiawakan rendang. Syaratnya tidak melabelinya sebagai masakan Minang/Padang, apalagi dikomersialkan sebagai jenama dagang nonhalal. Hal ini tidak perlu diperpanjang dengan pemikiran tentang mengagamakan rendang.

Pelakunya sudah meminta maaf dan peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang Indonesia yang unik. Peristiwa yang dulu tidak pernah terpikirkan, sekarang sangat mungkin terjadi dengan munculnya generasi baru yang punya gagasan plus inovasi baru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun