Jika Thailand berambisi menjadi pusat buku ASEAN, mengapa Indonesia tidak? Sejarah juga yang telah mencatat bahwa pada tahun 2015, Indonesia telah menjadi tamu kehormatan pada pameran buku terbesar sejagat, Frankfurt Book Fair. Saat itu Indonesia membawa tema 17.000 Islands of Imagination. Â Penonjolan imajinasi menunjukkan kekayaan luar biasa dan daya imajinasi yang juga luar biasa dimiliki Indonesia. Sebenarnya tidak hanya imajinasi, tetapi juga intelektual.
Namun, Indonesia selain dihadapkan pada persoalan-persoalan industri perbukuan dan keliterasian kini, juga dihadapkan pada gelombang "tipuan literasi". Buku terbit di Indonesia bak air bah seperti menunjukkan kemajuan literasi yang terlacak dari pengajuan ISBN.Â
Sejak tahun 2015--2021 tercatat 404.037 judul buku diterbitkan. Sebelum pandemi tahun 2019, ISBN yang dikeluarkan mencapai 123.227. Tahun 2020, saat terjadi pandemi, pengeluaran ISBN melonjak menjadi 144.793 judul. Tahun 2021 terjadi penurunan dengan pengeluaran ISBN sebanyak 63.398 (Perpusnas RI, 2022).
Sebagian besar publikasi ber-ISBN itu ditengarai sebagai bukan buku atau tidak layak disebut sebagai buku. Fenomena ini juga akan menjadi catatan sejarah di buku yang saya tulis. Buku ini dijadwalkan terbit tepat pada tanggal 17 Agustus 2022. Saya harus berpacu dengan waktu.
Sumber Tulisan:
- Alfons Taryadi (ed.). Buku dalam Indonesia Baru. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).
- Georg Scheder. Perihal Cetak Mencetak. (Yogyakarta: Kanisius, 1983).
- Isa Zubaidah. "Printing and Publishing in Indonesia, 1602--1970". (disertasi doktor di Indiana University, 1972).
- Wandi Wirayudha. "Menulis Mencipta Indonesia" (Historia, 12 Agustus 2017).
- Willard Hanna. Hikajat Jakarta. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988).