Lagi-lagi kita tidak peru berkilah bahwa sebanyak-banyaknya buku ditulis dan diterbitkan bagian dari gerakan literasi. Banyak buku yang ditulis dan terbit di Indonesia sudah mematikan selera awal untuk membacanya. Niatnya membangkitkan daya literasi, tetapi malah sebaliknya.
***
Dalam beberapa hari ini bertebaran informasi pembatasan dan penolakan ISBN oleh PNRI di media sosial. Tulisan saya di Facebook juga turut diviralkan. Alih-alih menjernihkan kekeruhan ISBN, saya malah dijadikan tempat mempertanyakan kebijakan PNRI. Tentu saya pribadi tidak mewakili PNRI atau menjadi jubir PNRI. Saya hanya kebetulan menjadi narasumber dalam diskusi ISBN yang diselenggarakan oleh PNRI. Saya coba membantu PNRI menyosialisasikan makna ISBN ini.
Sosialisasi dan penyadaran masyarakat perbukuan memang menjadi kata kunci. Jika diperlukan, rekayasa sosial tentang penggunaan ISBN dapat dilakukan oleh PNRI agar masyarakat perbukuan tidak salah kaprah memandang ISBN. Tidak hanya PNRI yang berkepentingan, Pusat Perbukuan dan Ikapi juga perlu menyosialisasikan perihal ISBN ini.
PNRI terikat dengan aturan lembaga internasional. Maka dari itu, apabila nomor ISBN terus dikeluarkan tanpa kontrol, Indonesia bakal berada pada posisi sulit untuk meminta lagi. Tiga belas nomor itu harus difungsikan sebagaimana mestinya bukan sebagai hiasan yang mempercantik kover belakang buku tanpa makna apa pun.
Mari kita bereskan hal yang lebih pokok yakni mutu buku dengan meningkatkan kompetensi para pelaku perbukuan. Tidak ada gunanya banyak buku diterbitkan, tetapi tidak dibaca, apalagi dibeli orang. Tidak ada gunanya buku ber-ISBN, tetapi tidak dibaca dan dibeli orang. Buku-buku itu sekadar menjadi "sampah imajinasi" dan "sampah intelektual", menyemak dan mati bernisankan nomor ISBN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H