Dua tokoh sastra yang disebutkan, yaitu Nur St. Iskandar dan Sutan Takdir Alisjahbana boleh dianggap sebagai peneroka kerja penyuntingan naskah di Indonesia, khususnya karya fiksi. Dua tokoh itu dikenal juga sebagai penulis dan sastrawan besar pada zamannya. Sebagaimana halnya Perkins yang juga mengawali karier sebagai reporter di New York Times. Jadi, perlu dipahami bahwa editor itu seyogianya mengawali karier sebagai penulis atau ia merupakan seorang ambidekster---memiliki kemampuan menulis dan menyunting sekaligus.
Patut diungkap juga di sini setelah STA, bergabung pula Armijn Pane dan abangnya, Sanusi Pane juga menjadi redaktur di Balai Poestaka. Pane bersaudara ini merupakan generasi editor selanjutnya di Indonesia. Atas tawaran dari STA, bergabung pula H.B. Jassin di Redaksi Balai Poestaka. Masyarakat sastra Indonesia pun kemudian mengenal H.B. Jassin sebagai kritikus sastra yang ulung sehingga berjuluk Paus Sastra Indonesia.
Ilmu Menyunting Fiksi
Karya sastra terbagi atas genre puisi, drama, dan prosa (cerpen dan novel). Ada yang berpendapat karya fiksi mencakup juga puisi dan drama. Sejatinya fiksi adalah prosa yang berbasis pengisahan dalam bentuk cerita pendek, novela/novelet, dan novel. Jadi, puisi dan drama tidak digolongkan sebagai genre fiksi.
Jika kemudian berkembang genre yang sangat dinamis seperti prosa liris atau puisi berwajah esai, itu tentu di luar pembagian tegas karya sastra. Karena itu, dalam konteks penyuntingan fiksi, ia tidak termasuk menyunting puisi dan menyunting drama.Â
Satu hal yang menjadi catatan bahwa puisi sejatinya karya yang tidak dapat diedit atau disunting, kecuali oleh penulisnya sendiri. Puisi hanya dapat dinilai dari segi kelayakannya untuk dipublikasikan. Di sisi lain, puisi memiliki "kekebalan diplomatik" bernama licentia poetika yang tidak ada pada karya fiksi cerpen dan novel.
Akan tetapi, di dalam karya sastra, termasuk cerpen, novel, dan drama, dikenal istilah penyimpangan bahasa. Penyimpangan ini yang perlu dipahami editor untuk dimaklumi sebagai kesengajaan penulis yang tidak memenuhi kaidah kebahasaan dengan alasan tertentu. Sebagai contoh secara kaidah, novel N.H. Dini berjudul Pada Sebuah Kapal semestinya ditulis Di Sebuah Kapal. Editor fiksi memaklumi diksi yang digunakan N.H. Dini.
STA sebagai Redaktur Balai Poestaka pernah menulis sebelas artikel berseri yang berjudul "Menoejoe Kesoesasteraan Baroe" di rubrik "Memajoekan Kesoesasteraan Indonesia" di majalah Pandji Poestaka. Artikel itu dibuat STA untuk merespons banyaknya kiriman syair ke Balai Poestaka dan sebagian besar syair itu bermutu rendah atau tidak layak terbit. Kesebelas artikel itu berisi prinsip-prinsip menulis puisi dan prosa yang berkualitas.
Penerbitan puisi di suatu lembaga penerbit tentu melibatkan editor. Namun, khusus puisi, editor lebih pada menilai kelayakan puisi tersebut, tidak mengeditnya secara mekanis (terutama dari segi bahasa) atau substantif. Hanya ada keputusan layak dan tidak layak. Jika tidak layak, langsung dikembalikan ke penulisnya.
Berbeda halnya dengan prosa atau fiksi, editor berperan mengedit secara mekanis dan substantif terhadap karya tersebut seperti yang terjadi pada kisah Perkins dan Wolfe. Editor dengan kewenangannya dan persetujuaan penulis tentunya dapat "mempermak" sebuah karya fiksi.
Tradisi penyuntingan fiksi ini dilanjutkan oleh generasi penulis dan sastrawan pasca Pujangga Baru dan Angkatan '45 seiring berkembangnya terus penerbitan buku. Boleh disebutkan di sini beberapa tokoh editor, yaitu Pamusuk Eneste, Frans M. Parera, dan Wilson Nadeak. Nama yang disebut terakhir sempat mengajar di Prodi Editing, Universitas Padjadjaran untuk mata kuliah Penyuntingan Naskah. Adapun Pamusuk Eneste kini menjadi pengajar di Politeknik Negeri Jakarta dan Frans M. Parera mengajar di Politeknik Negeri Media Kreatif. Mereka generasi editor yang saat ini sudah sangat senior dengan pengalaman segudang.
Mengajarkan Penyuntingan Fiksi
Saya menulis artikel ini sebagai pengantar dan pemanasan sebelum saya kembali mengampu mata kuliah Penyuntingan Fiksi pada semester IV di Politeknik Negeri Media Kreatif.Â