Film Genius yang mengisahkan tentang sosok editor bernama Maxwell Perkins (Max Perkins) cukup menginformasikan kepada kita bagaimana kerja seorang penyunting atau editor karya fiksi. Seorang penulis fiksi yang mampu menggagas sebuah kisah, lalu menuliskannya beratus, bahkan beribu halaman naskah memang patut disebut genius. Setelah naskah rampung, ada sosok editor di balik penerbitannya.
Perkins sebagai editor diakui sebagai sosok genius lainnya. Kegeniusan itu tampak dari pergulatan Perkins mempermak naskah Thomas Wolfe yang berjumlah 5.000-an halaman. Tak hanya Wolfe, Perkins juga dikenal sebagai editor untuk karya penulis besar, seperti F. Scott Fitzgerald dan Ernest Hemingway.
Pertanyaannya sejak kapan editor itu ada? Berdasarkan sejarah, permulaan kerja penyuntingan dipicu oleh penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada pertengahan abad ke-15. Industri penerbitan mulai bertumbuh. Saat itu disadari bahwa proses penerbitan yang mengandalkan cetakan dari logam, banyak mengandung kesalahan. Lalu, korektor dipekerjakan untuk memeriksa naskah tulisan tangan (manuskrip) dari para penulis sebelum dicetak massal.
Pada tahun 1800-an, industri percetakan modern mengalami pertumbuhan pesat sehingga posisi korektor yang kemudian naik menjadi editor sangat diperlukan. Perkins berkiprah pada rentang tahun 1920-1940 ketika industri penerbitan buku mengalami ledakan. Ia bekerja di Penerbit Charles Scribner and Sons Publishing House setelah sebelumnya menjadi reporter di New York Times.
Editor Awal di Indonesia
Industri buku di Indonesia (Hindia Belanda) kali pertama dikenalkan oleh Belanda. Sebenar-benar penerbitan buku diawali dengan pembentukan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Volkslectuur) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 15 Agustus 1908. Sejarah mencatat Komisi Bacaan Rakyat kemudian berubah menjadi Balai Poestaka pada tahun 1917 yang dipimpin oleh D.A. Rinkes.
Balai Poestaka merupakan penerbitan modern pada zamannya dan juga memiliki percetakan sendiri. Pada awal berdiri Balai Poestaka masih mempekerjakan tenaga asing dari Eropa untuk menggerakkan redaksi dan percetakan. Selanjutnya, perekrutan orang-orang Indonesia mulai dilakukan untuk bekerja di redaksi dan percetakan sejak Rinkes memimpin Balai Poestaka.
Adalah Nur Sutan Iskandar, seorang guru dan penulis, kemudian bergabung di Redaksi Balai Pustaka pada tahun 1919. Kedudukan awal Nur St. Iskandar saat itu disebut sebagai korektor. Selanjutnya, Nur St. Iskandar menjabat sebagai redaktur Balai Poestaka. Sampai pensiun ia berada di penerbit tertua di Indonesia itu.
Nur St. Iskandar dianggap sebagai orang yang berjasa mengembangkan bahasa Melayu standar melalui penerbitan buku. Pada masanya para penulis menganggap Balai Pustaka memiliki standar bahasa (Melayu) yang tinggi untuk naskah sehingga sulit ditembus.
Tokoh editor lain yang patut disebutkan di sini adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Konon Direktur Balai Pustaka, Dr. G.W.J. Drewes adalah orang yang "menemukan" bakat STA yang kala itu berusia 22 tahun. STA direkrut pada tahun 1930 menjadi redaktur di Majalah Pandji Poestaka.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!