Pelajaran menulis selalu identik dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Jika mengenang seorang guru yang menanamkan kebiasaan menulis, saya pun teringat dengan wali kelas saat duduk di bangku kelas 3 SMP (kelas IX). Saya menempuh pendidikan di SMPN 1 Tebing Tinggi Deli, Sumatra Utara. Wali kelas saya dipanggil dengan sebutan Pak Panggabean.
Hal yang tidak terlupakan itu adalah kebiasaan kami murdi-muridnya secara bergiliran menulis diari kelas. Diari berupa buku tulis berukurang folio itu harus diisi setiap orang murid tentang apa saja. Ada yang menulis puisi, ada yang menuliskan keluh kesahnya, ada yang menuliskan berita hari ini, dan macam-macam. Sayangnya diari kelas yang semestinya menjadi buku kenangan itu entah ke mana setelah kami lulus.
Di SMA, waktu itu SMAN 5 Medan, saya juga mendapatkan pelajaran menulis pada kelas 1 SMA (kelas X) melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. Saya agak lupa apa momen yang membuat guru saya---seorang ibu---begitu marah kepada saya soal tugas menulis. Ingatan sama saya mengerjakan tugas menulis tidak sesuai dengan arahannya.Â
Saya benar-benar merasa "goblok" pangkat dua dalam bahasa Indonesia. Wajar jika kemudian saya diganjar nilai 5 di rapor dan ibu saya pun terpaksa menghadap wali kelas karena mata pelajaran Bahasa Indonesia termasuk mata pelajaran utama.
Pada saat sekarang ini, saya selalu menghubungkan keterampilan menulis dengan fondasi yang ditanamkan oleh para guru sejak SD hingga SMA. Jika fondasi itu kurang baik, akan terbawa pada saat seseorang memasuki perguruan tinggi. Jika di pergutuan tinggi juga kurang baik, dapat dipastikan sang mahasiswa akan tidak becus menulis.
Ada satu momen dalam hidup saya ketika diminta menjadi guru Bahasa Indonesia. Saya menggantikan Mas Hernowo (alm.) yang dikenal sebagai guru menulis dan populer dengan bukunya Mengikat Makna. Di SMA Muthahhari Bandung milik Pak Jalaluddin Rakhmat (alm.) saya pun mengajar kelas 2 SMA (kelas XI) mata pelajaran Bahasa Indonesia khusus menulis. Ini memang unik ketika anak-anak SMA itu khusus diberi pelajaran menulis secara formal. Seingat saya waktu itu sekira tahun 2005 hingga 2006.
Beberapa waktu lalu di Surabaya, saya dijemput oleh seorang "gurunya para penulis guru". Beliau bernama Mohammad Ikhsan yang dikenal sebagai pelatih program "Satu Guru Satu Buku".Â
Pak Mohammad Ikhsan sebelumnya pernah menjabat sebagai Sekjen Ikatan Guru Indonesia (IGI). Kini bersama timnya di Media Guru, ia aktif memberikan pelatihan menulis untuk para guru se-Indonesia. Menurutnya respons sangat baik ditunjukkan oleh pemerintah dan para guru di Sumatra Utara dan Sumatra Barat---kita mengenal daerah ini dulu adalah basis para penulis.
Pak Ikhsan terbilang sukses mengompori para guru untuk menulis, terutama menulis buku. Memang hasil tulisan para guru itu belum dapat dibilang baik secara keseluruhan. Namun, usaha itu patut diapresiasi sebagai langkah awal mendorong guru mau dan mampu menulis buku.
Memantik kesadaran para guru untuk menulis diharapkan berkorelasi dengan meningkatnya pemahaman mereka bagaimana menanamkan kebiasaan dan keterampilan menulis kepada murid-muridnya.Â
Guru yang menulis itu memang penting dan lebih penting lagi guru yang mampu mengajarkan serta membiasakan murid-muridnya menulis secara baik dan benar.
Momentum Hari Guru ini mengingatkan pada Pak Panggabean, guru saya saat SMPN 1 yang secara tidak langsung membuat saya menulis dan guru SMA yang membuat saya "digampar" dengan nilai 5. Entah sudah takdir, saya malah kuliah di Program Studi Editing, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran. Bahkan, kemudian saya malah banyak terlibat dalam kegiatan di Badang Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek.
Jika menulis tentang guru, saya pun teringat akan guru-guru saya dan teringat saya pun pernah menjadi guru secara tak sengaja. Guru itu memang tidak sekadar profesi, tetapi juga panggilan jiwa yang hakiki. Saya kagum dengan guru-guru yang bangga dan bersemangat menjadi guru lewat tulisan-tulisan mereka.
Selamat Hari Guru! Dan menulislah selalu ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H