Masyarakat Indonesia umumnya telah meninggalkan cara tradisional memasak nasi. Merebus beras terlebih dahulu hingga menjadi aron (nasi setengah matang), lalu mengukusnya di dandang. Ada yang berpendapat cara tradisional ini dapat menghasilkan nasi yang pulen dan enak. Namun, risikonya tentu lebih lama dan lebih ribet.
Era baru telah datang beberapa dekade lalu ketika memasak nasi dimudahkan secara elektrik oleh rice cooker, lalu muncul lagi alat bernama magic jar. Alat yang memudahkan pekerjaan domestik di rumah tangga bagi para ibu atau bapak. Memasak nasi kini dapat dilakukan kurang dari satu jam.
Analogi magic jar ini yang saya gunakan untuk mengomentari beberapa keriuhan di medsos tentang pelatihan menulis yang mempromosikan gimik dalam soal waktu. Ada Pelatihan Menulis Novel dalam Waktu 1 Hari, bahkan Pelatihan Menulis Novel dalam Waktu 1 Menit. Tak sampai di situ, muncul juga Pelatihan Menulis Buku dalam Waktu 1 Jam. Narasumbernya seorang penulis buku bernama Ahmad Kindi yang memang telah menulis buku Menjadi Penulis Super: Bagaimana Menulis 1 Buku dalam Waktu 1 Jam.
Seorang Eka Kurniawan pun menampilkan meme tentang ini di linimasa FB-nya. Demikian pula Khrisna Pabhicara, menyindir habis Ahmad Kindi sebagai pencetus ide menulis buku dalam hitungan 60 menit itu. Sosok Ahmad Kindi dan pelatihannya juga menjadi bahan esai di Mojok.co. Cibiran dan sindiran mengalir dari para penulis yang merasa gerah dengan "penemuan" dan "terobosan" tulis-menulis ini.
Namun, nyatanya pelatihan yang digelar secara tatap muka di Kabupaten Tanah Datar (Sumbar) dan juga secara daring itu tidak sepi peminat. Hal ini menunjukkan betapa publik sangat tertarik dengan cara-cara instan untuk menulis sebuah buku. Buku yang selama ini dianggap berat dan kompleks dalam penulisannya, disederhanakan dan digampangkan oleh Ahmad Kindi dalam hitungan hanya 1 menit, 1 jam, dan 1 hari.
Apakah saya termasuk yang gerah dengan perihal pelatihan ini? Cukup tersenyum saja dan menuliskan artikel ini.
Memahami "Gerakan Literasi" Ahmad Kindi
Biarkan para peserta Pelatihan Menulis 1 Buku dalam Waktu 1 Jam memetik hikmah pembelajaran menulis itu. Jika ada embel-embel bahwa teknologilah yang memudahkan seseorang dapat menulis dengan kecepatan luar biasa, saya curiga penggelar dan narasumber kegiatan pelatihan itu telah menggunakan kecerdasan buatan untuk menyajikan tulisannya. Kecerdasan yang dibuat-buat agar menulis buku atau menulis novel semudah membalikkan taplak meja.
Saya kira pengikut Ahmad Kindi walaupun masih sebatas sekabupaten Tanah Datar dan sekitarnya akan terus bertambah dan telah membuktikan bahwa menulis buku dalam waktu 1 jam adalah logis meskipun mereka tidak perlu paham apakah yang ditulis itu sebuah buku atau bukan. Sebagai gimik, judul buku atau pelatihan itu bukanlah yang pertama, sebelumnya ada juga tajuk-tajuk buku dan pelatihan menulis yang menyiratkan kegampangan menulis secara instan ala magic jar.
Promosi yang ditampilkan Ahmad Kindi dan penerbit di belakangnya (Jihan Pustaka Media) terbukti ampuh menarik perhatian banyak orang. Jihan Pustaka Media sendiri disebut sebagai jaringan kerjasama di bidang kepenulisan hingga menerbitkan buku serta penyebarannya. Berbasis di Padang, Indonesia dengan anggota tersebar di manca negara (Sumber: Fanpage FB Jihan Media Pustaka). Pelatihan bombastis itu pun diselenggarakan berkali-kali dalam durasi 3,5 jam atau lebih serta embel-embel pendampingan penulisan selama 30 hari.
Silakan memahami Ahmad Kindi dan gerakannya sebagai fenomena keliterasian yang muncul di negeri ini. Literasi di negeri ini sudah sedikit lebih maju dari membaca menuju menulis, dari kegemaran membaca menjadi kegemaran menulis. Potret ini terlihat dari data pengajuan ISBN, Perpusnas mencatat ada 113.971 ISBN (Januari-November 2019), lalu meningkat pada tahun 2020 menjadi 121.393 ISBN (Januari--November 2020). Artinya, lebih dari 100 ribu judul buku telah diterbitkan di Indonesia. Namun, ISBN tidak merepresentasikan mutu buku. Buku tidak bermutu atau tidak layak disebut buku asalkan memenuhi syarat halaman preliminaries, kemungkinan besar akan mendapatkan nomor ISBN.
Gairah menulis, terutama menulis buku yang dapat menimbulkan prestise tersendiri inilah yang dibaca oleh para petualang di dunia literasi. Mereka menebarkan benih-benih keliterasian lewat cara-cara instan yang tentu saja ditentang habis oleh sebagian besar para penulis yang lahir dari rahim proses bertahun-tahun menulis. Para petualang literasi memanfaatkan sisi keawaman banyak orang tentang menulis buku yang baik dan benar. Buku adalah buku, tidak perlu dipersulit dengan standar dan kaidah yang baku.
Namun, Â bagi saya yang mendalami ilmu penerbitan secara akademis, hal ini berbeda. Saya bersama tim di Pusat Perbukuan (Kemendikbudristek) memperjuangkan adanya standar dan kaidah baku ini masuk ke dalam Undang-Undang (UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan), Peraturan Pemerintah (PP Nomor 75/2019), dan draf Permendikbud karena saya terlibat di dalamnya di Komisi X DRP-RI serta di Kemendikbud.Â
Bagi mereka yang berpandangan pragmatis, standar dan kaidah ini berpotensi menghambat kreativitas. Namun, saya dapat menyatakan bahwa ukuran kebermutuan sebuah buku tidak dapat dilepaskan dari adanya standar, kaidah, bahkan kode etik dalam menggagas dan menciptakannya.
Saya pun memperjuangkan adanya sertifikasi bagi penulis buku nonfiksi dan editor buku, setidaknya mencegah para petualang literasi yang mengaku-aku sebagai penulis buku atau editor buku melenggang begitu saja. Walaupun begitu, banyak juga yang menentang gagasan saya melakukan sertifikasi penulis dan editor.Â
Namun, SKKK Penulis dan Editor tetap terwujud dan LSP Penulis dan Editor Profesional berdiri. Sejak April 2019 hingga November 2021, LSP PEP telah menyertifikasi lebih dari 6.000 orang penulis dan editor di berbagai daerah di Indonesia.
Jika menulis buku dibebaskan begitu saja, munculnya para penulis buku yang merasa sudah menulis buku tidak akan dapat dibendung. Mereka tidak akan peduli apakah yang mereka tulis itu benar-benar buku, yang penting ber-ISBN dan diterbitkan oleh penerbit meskipun itu penerbit abal-abal. Mereka tidak peduli dengan proses editorial (penyuntingan) dan segi-segi estetis serta keterbacaan dalam penyajian buku.
Sebagai dosen di Program Studi Penerbitan, Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia), saya juga menekankan standar, kaidah, dan kode etik ini kepada mahasiswa saya. Mereka boleh kelak menciptakan cara-cara baru, termasuk secara nakal dan kreatif "melanggar" standar dan kaidah.Â
Namun, mereka harus mampu memberikan argumentasi serta harus paham dulu asas-asas menulis buku dan menerbitkan buku sebagai sebuah konvensi atau konsensus internasional. Tanpa kepahaman ini, mereka akan menjadi generasi magic jar yang mendewa-dewakan cara instan menghasilkan buku.
Fenomena Literasi "Magic Jar"
Literasi "Magic Jar" yakni kemampuan menulis dan membaca yang diperoleh secara instan memang perlu disambit alih-alih disambut. Ia bukanlah sebuah terobosan, melainkan sebuah kamuflase yang justru membuat daya literasi kita makin terpuruk dengan keyakinan semu bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang literat.Â
Apa buktinya? Buktinya produksi buku kita meningkat dari tahun ke tahun hingga seratusan ribu judul. Namun, jangan-jangan sebagian besar adalah buku tidak bermutu.
Salah satu hal semu itu bahwa terjadi peningkatan signifikan penulisan buku pada masa Covid-19, terlihat dari data ISBN Perpusnas yang menaik. Namun, di satu sisi riset Ikapi menunjukkan penjualan buku secara drastis menurun pada masa Covid-19 di Indonesia.Â
Ada berkah tersembunyi yang dialami beberapa negara di dunia ketika pemerintahnya memberlakukan lockdown. Masyarakatnya mencari inspirasi dan pengetahuan lewat membaca buku. Di Inggris terjadi peningkatan penjualan novel tiga kali lipat. Di AS terjadi peningkatan 66% penjualan buku anak nonfiksi.
Arys Hilman, Ketua Ikapi, menyindir keadaan di Indonesia sebagai anomali "di rumah saja tanpa buku". Di Indonesia, pasar perbukuan justru mengalami kemerosotan tajam ketika pandemi Covid-19 hadir. Mayoritas penerbit (58,2%) mengalami penurunan penjualan lebih dari 50%. Sebanyak 29,6% penerbit mengalami anjlok 31-50%, sebanyak 8,2% penerbit mengalami penurunan 10-30%, dan 4,1% penerbit mengaku tidak terganggu oleh pandemi (Ikapi, 2020).
Lalu, siapa yang membaca buku yang telah terbit seratusan ribu judul buku itu di Indonesia? Bolehlah dianggap bahwa pemasaran buku telah mengalami disrupsi dan dilakukan secara bergerilya, terutama oleh para penerbit mandiri (self-publisher). Buku-buku tadi tidak diserap oleh pasar konvensional di toko buku, tetapi oleh pasar penjualan langsung.Â
Namun, masih diperlukan riset mendalam tentang hal ini yakni ke mana larinya seratusan ribu judul buku itu? Apakah benar-benar diterbitkan atau tidak? Apakah benar-benar laku atau tidak?
Jadi, apa yang mengkhawatirkan dari literasi "magic jar" ini adalah genjotan luar biasa untuk menulis buku, tetapi tidak untuk membaca buku. Bahkan, jangan-jangan para penuisnya juga bukan pembaca buku. Sebagaimana asumsi yang pernah saya sampaikan dahulu.
Mengapa masyarakat Indonesia enggan membaca buku? Sebab tidak ada buku yang menarik (bermutu) untuk dibaca. Mengapa tidak ada buku yang menarik (bermutu) untuk dibaca? Sebab para penulis buku itu tidak kompeten. Mengapa penulis buku itu tidak kompeten? Sebab tidak pernah dibina oleh negara. Mengapa negara tidak membina para penulis buku itu? Sebab tidak ada regulasi untuk itu.
Kini regulasi itu sudah ada setingkat UU dan PP serta dalam proses pengesahan adalah Permendikbudristek, bahkan Pusat Perbukuan juga sudah dieksiskan di Kemendikbudristek. Maka dari itu, pembinaan terhadap pelaku perbukuan memerlukan campur tangan pemerintah dan masyarakat yang peduli terhadap literasi.Â
Dengan demikian, tidak akan muncul lagi pelatihan menulis buku dalam waktu 1 menit, 1 jam, dan 1 hari yang makin menyiratkan kesemuan literasi di negeri ini. Orang tergerak beramai-ramai menulis buku dengan cara apa pun. Namun, buku-buku itu sudah kehilangan pembacanya sedari awal karena dibuat dengan terobosan "magic jar". Buku ramai diterbitkan, tetapi tidak ramai dibaca karena dibuat seperti menanak nasi. Satu jam jadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H