Saya rasa buku-buku yang saya baca pada masa lalu telah bermetamorfosis layaknya sebuah kepompong menjadi kupu-kupu. Metamorfosis itu terjadi pada pikiran dan perasaan saya untuk memandang dunia dengan cara berbeda. Campuran antara kenyataan dan imajinasi. Senyawa antara gembira dan sedih. Sintesis antara cinta dan benci.
Hanya ada dua buku bacaan anak lokal yang masih terpendam setia di alam ingatan masa kecil saya. Pertama adalah novel Taume Anak Mentawai karya Nilakusuma yang diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1976. Buku ini dipinjam oleh abang saya dari perpustakaan sekolah, alhasil turut menjadi santapan bacaan saya pada masa itu.Â
Buku kedua adalah novel Elang Putih. Saya tak ingat siapa penulis dan penerbitnya karena tidak ada jejak digital yang dapat saya telusuri kini.
Taume Anak Mentawai melekat erat di benak saya tentang kehidupan anak-anak di Pulau Mentawai. Mereka sehari-hari mengonsumsi sagu dan memakan nasi hanya seminggu sekali. Memakan nasi seperti sebuah ritual yang menyenangkan hati Taume dan adiknya.Â
Saya ingin tahu lebih jauh tentang penulisnya, tetapi tetap tidak bertemu lagi data itu. Dulu saat kecil, belum begitu sadar untuk mengenali penulis sebuah buku.
Kalau novel Elang Putih berkisah tentang sekelompok anak di suatu desa. Cerita dikemas ala detektif karena anak-anak itu membentuk sebuah geng bernama Elang Putih.Â
Ada hal lucu teringat dari dialog anak-anak ini ketika berdiskusi tentang nama geng mereka. Ada yang mengusulkan nama geng-nya Jenderal Sudirman. Anak yang lain menimpali, "Marah nanti cucunya!"
Kedua bacaan ini sedikit banyak memengaruhi alam pikiran anak-anak saya. Di benak saya bermetamorfosis pikiran dan perasaan tentang begitu berwarnanya hidup itu. Saya membandingkan dengan kehidupan masa kecil saya di sebuah kota kecil dan di lingkungan kompleks pabrik es. Saya sedang menyiapkan novel memoar masa kecil ini.
Tentang berwarnanya hidup bak sayap kupu-kupu, lewat novel Taume Anak Mentawai saya jadi tahu kehidupan anak-anak di daerah yang hampir terisolasi pada zaman Orba, Pulau Mentawai. Ada kisah kehidupan di hutan yang mencengangkan. Dari novel kedua, saya tergerak dengan motivasi menjadi anak-anak pemberani berkolaborasi, lalu menggulung sebuah komplotan penjahat.Â
Kedua novel ini menarik karena sedikit sekali melibatkan orang dewasa dalam konflik yang mereka hadapi. Anak-anak itu menyelesaikan sendiri konfliknya. Itulah novel anak yang berhasil.Â
Ya, saya memahami novel anak sukses itu setelah lewat dua dekade dari masa kecil, akhirnya saya meneliti tentang novel anak Indonesia sebagai syarat untuk menyusun skripsi S-1 saya di Sastra Indonesia, Unpad. Skripsi itu dibukukan dengan judul Fenomena Instrinsik Cerita Anak Indonesia: Dunia Sastra yang Terpinggirkan, diterbitkan oleh Nuansa dalam Program Pustaka I yang didanai Ford Foundation.
Beruntung saya mengalami masa kecil dengan lingkungan yang literat. Orang tua, abang, dan kakak saya adalah para pembaca yang rakus. Buku, koran, dan majalah tersedia di rumah.Â
Dua novel yang saya sebutkan adalah bagian dari Proyek Inpres pengadaan buku yang secara besar-besaran dilakukan pemerintah Orba pada tahun 1970-an hingga 1990-an. Kedua buku itu pinjaman dari perpustakaan sekolah dan tertera label di kover depannya: Milik Negara. Tidak untuk Diperdagangkan.
***
Saya tidak dapat menafikan ada karya penulis asing yang juga sangat berpengaruh pada era 1980-an. Anak-anak pada zaman ini umumnya tahu. Itulah serial Lima Sekawan karya Enid Blyton.Â
Dua orang anak lelaki (Julian dan Dick) dan dua orang anak perempuan (Anne dan George) plus seekor anjing (Timmy) menjadi tokoh utama cerita. Novel ini terbit kali pertama tahun 1942 di Inggris.
Sama dengan dua novel lokal yang saya uraikan tadi, Lima Sekawan juga memberikan pengalaman imajinatif pada masa kecil saya. Pengalaman tentang kehidupan di Inggris dan bagaimana sekelompok anak-anak itu memecahkan misteri kejahatan di sekitar mereka. Sekali lagi ini menarik karena tokoh orang dewasa tidak lebih berperan dibandingkan tokoh anak-anak.
Satu hal yang masih saya ingat dari novel ini tentang makanan. Georgina alias George, anak perempuan tomboi itu dibekali makanan ketika hendak pergi ke Pulau Kirrin, milik ayahnya. Bekalnya adalah roti sandwich yang berisi ikan sarden.Â
Duh, saya membayangkannya pada masa itu sampai ngiler meskipun tidak tahu seperti apa sandwich dengan ikan sarden itu. Akan tetapi, saya tetap membayangkan makanan itu lezat luar biasa.Â
Nah, yang seangkatan dengan saya dan pernah membaca Lima Sekawan, mari bersepakat bahwa novel ini benar-benar memberi ruang imajinasi yang lega seperti lapangan sepak bola, bukan lapangan futsal.
***
Jejak buku anak masa lalu untuk generasi X seperti saya ini mungkin masih jamak dapat ditelusuri. Pada masa itu pesaing utama membaca buku hanyalah televisi hitam putih, lalu televisi berwarna. Itu pun kalau memang ada di rumah. Toko-toko buku masih menjadi magnet untuk dikunjungi walaupun tak leluasa untuk membaca. Demikian pula lapak-lapak penyewaan buku.
Saat menjadi pembaca yang lumayan lancar, saya mulai beranjak ke komik silat. Puluhan seri komik silat saya lahap pada masa SD kelas 4. Ada yang sengaja dibeli oleh om saya dan ada pula yang saya pinjam dari lapak penyewaan buku. Uang Rp25 cukup untuk menyewa satu buku.
Memang membaca komik bukanlah satu-satunya hiburan pada masa itu, tetapi tetap menjadi alternatif menarik ketika bosan bermain atau kelelahan oleh PR sekolah yang berjibun pada masa Orba itu. Dan sekarang pun masih berjibun.
Apa yang terjadi pada masa kecil saya adalah bekal untuk menjadi pembaca tingkat lanjut. Maka dari itu, saya selipkan sedikit kenangan pada masa remaja bahwa buku yang sangat memengaruhi saya adalah serial Lupus karya Hilman Hariwijaya.Â
Tanpa saya sadari pada masa itu, Lupus-lah yang memberi pelatihan pertama bagi saya untuk menulis. Saya meniru gaya Hilman (copy the master) ketika menulis surat untuk sahabat pena saat musim korespondensi masih ada.
Pengaruh besar majalah HAIÂ juga terbawa pada masa remaja saya. Satu cerita bersambung di HAI yang membekas di ingatan adalah Balada Si Roy. Penulisnya, Gol A Gong, mampu menyihir dengan kisah seorang remaja avonturir yang penuh misteri. Kisah ini telah beralih wahana menjadi film yang sebentar lagi akan tayang.
Berpuluh tahun kemudian, saya akhirnya bersua dengan Gol A Gong sebagai sesama penulis dan pegiat literasi. Kini Si Roy alias Gol A Gong diberi kehormatan sebagai Duta Baca oleh Perpusnas RI menjelang Hari Buku Nasional 2021.
***
Kupu-kupu dalam buku akan selalu ada manakala para penulis buku, terutama di Indonesia, mampu menghadirkan cerita bermutu yang sulit lekang dari ingatan anak-anak. Sastrawan memang harus turun gunung menulis buku cerita anak.
Bagaimana dengan buku teks/pelajaran sekolah? Adakah yang membekas dalam ingatan anak-anak saya? Kebanyakan buku itu tak membekaskan ingatan pada saya, kecuali buku bahasa Indonesia dan buku bahasa Inggris. Buku bahasa Indonesia "Ini Budi" karya Bu Siti Rahmani Rauf sudah seperti lem superkuat.Â
Satu lagi saat bersekolah di SD swasta, saya mendapat pelajaran bahasa Inggris. Bukunya terbitan J.B. Wolters---penerbit Belanda yang kemudian dinasionalisasi. Ada satu teks wacana bahasa Inggris yang paling saya ingat tentang kisah seekor simpanse. Namanya Buwono. Buwono is a clever chimpanzee. Rasa aneh memang simpanse dinamai Buwono.
Saya ingin pula membekaskan buku pada ingatan anak-anak saya seperti saya. Semoga mereka punya paling tidak satu atau dua buku yang membekas di ingatan atau malah mengubah hidup mereka menjadi lebih baik.Â
Hakikat buku yang baik adalah buku yang mampu mengubah hidup pembacanya menjadi lebih baik dalam soal pikiran dan perasaan. Tiket untuk masuk ke wahana metamorfosis ini adalah kegemaran membaca. Titik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H