Beruntung saya mengalami masa kecil dengan lingkungan yang literat. Orang tua, abang, dan kakak saya adalah para pembaca yang rakus. Buku, koran, dan majalah tersedia di rumah.Â
Dua novel yang saya sebutkan adalah bagian dari Proyek Inpres pengadaan buku yang secara besar-besaran dilakukan pemerintah Orba pada tahun 1970-an hingga 1990-an. Kedua buku itu pinjaman dari perpustakaan sekolah dan tertera label di kover depannya: Milik Negara. Tidak untuk Diperdagangkan.
***
Saya tidak dapat menafikan ada karya penulis asing yang juga sangat berpengaruh pada era 1980-an. Anak-anak pada zaman ini umumnya tahu. Itulah serial Lima Sekawan karya Enid Blyton.Â
Dua orang anak lelaki (Julian dan Dick) dan dua orang anak perempuan (Anne dan George) plus seekor anjing (Timmy) menjadi tokoh utama cerita. Novel ini terbit kali pertama tahun 1942 di Inggris.
Sama dengan dua novel lokal yang saya uraikan tadi, Lima Sekawan juga memberikan pengalaman imajinatif pada masa kecil saya. Pengalaman tentang kehidupan di Inggris dan bagaimana sekelompok anak-anak itu memecahkan misteri kejahatan di sekitar mereka. Sekali lagi ini menarik karena tokoh orang dewasa tidak lebih berperan dibandingkan tokoh anak-anak.
Satu hal yang masih saya ingat dari novel ini tentang makanan. Georgina alias George, anak perempuan tomboi itu dibekali makanan ketika hendak pergi ke Pulau Kirrin, milik ayahnya. Bekalnya adalah roti sandwich yang berisi ikan sarden.Â
Duh, saya membayangkannya pada masa itu sampai ngiler meskipun tidak tahu seperti apa sandwich dengan ikan sarden itu. Akan tetapi, saya tetap membayangkan makanan itu lezat luar biasa.Â
Nah, yang seangkatan dengan saya dan pernah membaca Lima Sekawan, mari bersepakat bahwa novel ini benar-benar memberi ruang imajinasi yang lega seperti lapangan sepak bola, bukan lapangan futsal.
***
Jejak buku anak masa lalu untuk generasi X seperti saya ini mungkin masih jamak dapat ditelusuri. Pada masa itu pesaing utama membaca buku hanyalah televisi hitam putih, lalu televisi berwarna. Itu pun kalau memang ada di rumah. Toko-toko buku masih menjadi magnet untuk dikunjungi walaupun tak leluasa untuk membaca. Demikian pula lapak-lapak penyewaan buku.
Saat menjadi pembaca yang lumayan lancar, saya mulai beranjak ke komik silat. Puluhan seri komik silat saya lahap pada masa SD kelas 4. Ada yang sengaja dibeli oleh om saya dan ada pula yang saya pinjam dari lapak penyewaan buku. Uang Rp25 cukup untuk menyewa satu buku.