Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Elegi Toko Buku: Mari Mati Bersama Pelan-pelan

21 Februari 2021   10:08 Diperbarui: 21 Februari 2021   15:01 3554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas kegiatan rapat koordinasi persiapan Kongres Perbukuan Nasional II di Bekasi yang diselenggarakan Puskurbuk, saya pun pulang menuju Cimahi. Sampai di Cimahi, saya melewati kawasan pertokoan di Jalan Gandawiya, tiba-tiba pandangan saya tertambat pada spanduk di sebuah ruko. "Toko Buku Merauke: Segera Dibuka".

Terbetik juga rasa gembira ketika sebuah toko buku dibuka. Kondisi ini seperti antitesis dengan apa yang terjadi pada toko buku kita selama lebih dari dua dekade. Saya mengikuti perkembangan toko buku sebagai praktisi perbukuan.

Masa kecil saya juga tidak dapat dilepaskan dari toko buku ketika dulu di Tebing Tinggi menjadi sebuah kebiasaan. Saya mengunjungi Toko Buku M. Said Lubis yang terletak di tengah-tengah pasar. Toko buku itu seperti "surga" kecil yang memberi begitu banyak hiburan literasi. Bau kertas menguar dari tumpukan buku-buku baru, majalah, dan koran yang dihamparkan rapi.

Sumber: Ali Yahya dalam Unsplash.com
Sumber: Ali Yahya dalam Unsplash.com
Saat usia saya sudah memasuki kepala empat lebih, ternyata saya ditakdirkan masih berada di tengah-tengah toko buku, tepatnya berkantor di Kompleks Maya Indah, Senen, Jakarta. Kompleks ini dulu merupakan "hadiah" dari Pemerintah Orde Baru untuk para penerbit dan toko buku. Sisa-sisa penerbit dan toko buku masih ada di sana.

Saya katakan sisa-sisa karena kompleks ruko itu sebagian telah berubah fungsi bukan lagi menjadi kantor penerbit atau toko buku. Di seberang kompleks, masih terdapat juga toko-toko buku yang menyisakan jejak sejarah Kwitang dan Senen sebagai pusat buku di Jakarta. Masih berdiri meskipun tertatih Toko Gunung Agung dan Toko Walisongo.

Senjakala Toko Buku
Para pengusaha toko buku bergabung dalam asosiasi bernama Gabungan Toko Buku Indonesia (GATBI). GATBI sebagai organisasi tetap ada, tetapi sebagai entitas yang berkiprah di dalam perbukuan Indonesia seperti tiada.

Sejarah berdirinya Ikapi sejatinya tidak dapat dipisahkan dari perkumpulan toko buku. Keanggotaan Ikapi dari daerah bermula dari Medan, Sumatra Utara, yang didukung oleh perkumpulan penerbit dan toko buku. Mereka kemudian rela meleburkan diri ke dalam Ikapi. Tercatat penerbit dan toko buku legendaris di Medan adalah Madju dan Masco.

Toko buku berjejaring juga bertumbuh kembang sejak tahun 1950-an seiring  bertumbuh kembangnya penerbit pasca terbentuknya Ikapi. Toko Gunung Agung (TGA) didirikan tahun 1953 di Kwitang. Kawasan Kwitang, Senen, dan Kramat betul-betul menjadi tempat keramat bagi pertumbuhan toko buku di Ibu Kota kala itu.

Pada tahun 1970 berdiri Toko Buku Gramedia yang kemudian menjadi toko buku dengan jejaring terbesar di Indonesia. Gramedia dan Gunung Agung seperti seiring sejalan menguasai pasar buku dan alat tulis di Indonesia. Mal-mal menjadi target mereka sehingga kehadiran mal selalu ditingkahi juga kehadiran kedua toko buku ini. Hanya kemenangan Gramedia terlihat kini dari lahan-lahan strategis yang mereka miliki di berbagai kota di Indonesia.

Di Indonesia seperti kelaziman bahwa sebuah usaha dibentuk dari hulu ke hilir. Hulu usaha perbukuan adalah penerbit dan hilirnya adalah toko buku.

Jadi, Gunung Agung dimulakan dari toko buku, lalu membentuk penerbit bernama Penerbit Haji Mas Agung (diambil dari nama pendirinya). Gramedia bermula dari penerbit, lalu membentuk toko buku. Begitu pula terjadi pada usaha perbukuan lainnya. Rata-rata penerbit besar pasti memiliki toko buku sendiri dan percetakan sendiri.

Hal ini juga terjadi pada Penerbit Tiga Serangkai yang membentuk Toko Tisera pada tahun 2003. Tisera menyasar pada pasar kelas menengah ke bawah, membentuk toko di mal-mal pinggiran kota seperti di Jatinangor dan di Cimahi (Jawa Barat) dan juga di beberapa tempat lain.

Menyusul kemudian Toko Eureka di bawah PT Eureka Bookhouse yang dibentuk Penerbit Erlangga pada tahun 2006. Toko buku ini berkonsentrasi pada penjualan buku-buku pendidikan dengan membangun gerai-gerai berjejaring di ruko.

Penerbit Mizan juga sempat mendirikan sebuah toko buku di Jakarta Selatan. Namun, seiring waktu, toko buku itu tidak lagi beroperasi.

Ada lagi jejaring Toko Buku Karisma juga sempat muncul di beberapa mal. Toko buku ini dilahirkan orang perbukuan juga. Karisma memenuhi tokonya dengan buku-buku terbitan sendiri dari Penerbit Scientific Press yang berlokasi di Batam (beralamat PO Box).

Saya perlu menambahkan di sini jejaring toko buku yang terbentuk bukan dari penerbit adalah toko buku diskon Togamas yang sempat mengalami pertumbuhan progresif di beberapa kota di Pulau Jawa. Toko buku Togamas didirikan tahun 1990 di Jawa Timur, tepatnya di Malang, lalu merembet ke beberapa kota di Pulau Jawa.

Di daerah tempat saya bermukim (Bandung dan sekitarnya), masih dapat ditemukan toko-toko buku yang mencoba bertahan dari desakan zaman. Ada kawasan buku Palasari dan Pasar Suci. Ada Toko Singgalang di Karapitan sebagai toko buku tradisional dan yang sangat legendaris Toko Buku Dahlan (Penerbit Diponegoro) di kawasan Tegalega.

Perlu disebut juga Toko Buku Djawa di kawasan Braga yang sudah ditutup dan berubah menjadi kedai kopi. Toko Buku Alumni dan Angkasa sudah lebih dulu ditutup pada akhir 1990-an. Bagi para penggemar komik, ada Toko Buku Maranatha di Jalan Ciateul Bandung yang juga tinggal kenangan.

Senjakala toko buku, terutama toko buku berjejaring tampaknya terjadi pada satu dekade setelah milienum ketiga atau pada tahun 2010. Sebagian besar toko buku yang saya sebutkan tadi sudah rontok atau jejaringnya sirna dihantam zaman. Ada juga yang mengalihkan operasionalnya menjadi toko buku daring.

Toko buku tak mampu bertahan karena kunjungan yang merosot dari pembeli. Satu hal yang mematikan hasrat itu, terutama bagi anak-anak sekolah, lantaran distribusi buku berlangsung tidak normal. Buku-buku sekolah disalurkan langsung oleh penerbit ke sekolah-sekolah tanpa melalui saluran konvensioal yakni toko buku.

Sekolah berubah menjadi "toko buku". Hal ini sudah berlangsung dari zaman ke zaman, saya kira sejak masih sekolah di bangku SD tahun 1980-an sudah terjadi. Makin luar biasa pada tahun 1980-an akhir ketika saya duduk di bangku SMA.

Salah satu biang kerok lain yang kerap didengung-dengungkan adalah minat baca masyarakat plus minat membeli buku yang tak kunjung tumbuh. Tidak tumbuh atau tidak muncul generasi baru pembaca buku yang rakus. Anak-anak tidak pernah diajak berwisata ke toko buku sehingga tidak pernah menikmati kemeriahan literasi. Mereka lebih sering masuk ke arena gim (permainan) daripada toko buku.

Pemicu lain boleh jadi persoalan internal usaha toko buku. Sangat mungkin generasi penerus toko buku tidak mau melanjutkan usaha orang tuanya yang telah dirintis sedemikian rupa. Aset-aset berupa tempat dan ruko dialihfungsikan.

Lalu, saya menyebut pemicu lain yang baru belakangan ini hadir adalah teknologi yang berwujud dalam bentuk lokapasar, seperti Shopee, Bukalapak, Tokopedia, dan sejenisnya yang juga menjadikan buku sebagai komoditas para pelapak. Buku-buku lebih mudah diperoleh melalui lokapasar. Bahkan, buku-buku bajakan juga merajalela di lokapasar yang turut berimbas pada sekaratnya para penerbit.

Mari Mati Bersama Pelan-Pelan
Sebagian besar toko buku seperti memasuki masa MMBPP alias mari mati bersama pelan-pelan. Beberapa yang sudah menemui ajalnya, seperti jejaring TGA di mal-mal (tersisa TGA di Kwitang), Tisera, Eureka, Karisma, dan banyak lagi toko buku kecil (tradisional). Sebenar-benar pembaca buku tentu menangisi penutupan ini karena tak lagi dapat menikmati buku di mal-mal atau di tempat-tempat terdekat yang dapat dijangkau.

Matinya toko buku akan sangat berdampak bagi penerbit buku yang mengandalkan toko buku sebagai saluran penjualan. Data dari Ikapi yang disampaikan pada akhir 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 62% persen penerbit kini sangat bergantung penjualannya pada Toko Gramedia. Bayangkan jika Toko Gramedia---yang sudah menanggalkan kata 'buku' pada merek dagangnya---juga ditutup, tentu akan berpengaruh pada nyawa para penerbit.

Situasi Toko Gramedia kini sudah sangat berbeda. Ruang untuk alat tulis kantor, alat olahraga, mainan, dan aksesori bertambah mengurangi ruang untuk buku. Alhasil, Gramedia pun terbatas memajang buku yang terus bertambah setiap bulan. Wajar jika Toko Gramedia memprioritaskan buku yang laku atau paling tidak bergerak terjual. Bagi buku-buku yang bergerak lamban atau sama sekali terhenti, mohon maaf saja jika harus diretur.

Saya merasakan situasi berbeda kini di Toko Gramedia, Istana Plaza Bandung. Toko itu mulai terasa temaram karena beberapa lampu tidak dinyalakan (mungkin menghemat listrik) pun pendingin ruangan sedikit difungsikan. Saya tidak lagi nyaman berlama-lama di sana seperti yang biasa saya lakukan. Ruang untuk buku mulai dikurangi secara berangsur-angsur.

Jadi, jelas bahwa tutup atau matinya toko buku juga bakal berdampak pada aktivitas penerbitan buku. Penerbit buku pun dapat mati bersama pelan-pelan. Romantisme toko buku hanya tinggal kenangan seperti kisah Rangga dan Cinta yang dilatari lapak buku dan kumpulan puisi Chairil Anwar.

Menyelamatkan Toko Buku
Di Amerika terjadi sebuah kebalikan. Toko buku berjejaring Borders yang sangat besar di Amerika menutup sebagian besar gerainya pada tahun 2011 karena tak mampu bersaing dengan toko buku diskon dan toko buku daring. Sebaliknya, Amazon yang sukses dengan toko buku daring malah membuka toko buku fisik pertamanya tahun 2015 di Seattle, AS.

Keadaan toko buku di belahan negara lain tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Namun, mereka tutup karena menghadapi ketatnya persaingan dan penetrasi toko buku daring. Jadi, bukan karena rendahnya minat membaca dan minat membeli.

Di Indonesia masalah perbukuan berkelindan sedemikian rupa. Ekosistem perbukuan kini yang melibatkan pelaku perbukuan, pemerintah, dan masyarakat dalam kondisi yang masih dibiarkan untuk sekadar bertahan. Jika tiba-tiba akvitas perbukuan terhenti sama sekali, mungkin baru semuanya tersadar dari alam mimpi. Mimpi tentang keliterasian yang indah.

Merujuk pada UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75 Tahun 2019, Pemerintah memiliki kewenangan untuk menciptakan ekosistem perbukuan yang sehat. Salah satu indikator ekosistem perbukuan yang sehat adalah tumbuh dan berkembangnya toko buku sebagai saluran distribusi dan penjualan buku.

Fenomena kemajuan teknologi dan tata niaga buku yang berubah adalah sebuah tantangan. Bagaimanapun kehadiran toko buku secara fisik dapat dan harus dipertahankan.

Uni Emirat Arab melalui UU Buku yang ditetapkan pemerintahnya memberi insentif dengan pembebasan biaya sewa ruang toko buku di mal-mal. Saya kira hal ini juga mungkin dilakukan Pemerintah Indonesia dengan memberi subsidi biaya sewa misalnya dengan syarat toko buku juga menyediakan ruang baca publik. Toko buku semestinya tidak lagi melarang orang untuk membaca buku di tempat apabila terdapat ruang baca publik.

Demikian pula kebijakan untuk "memaksa" transaksi buku pendidikan juga terjadi di toko-toko buku, bukan melewatinya. Jika transaksi dipindahkan secara daring, semestinya toko-toko buku juga diberi jalan mengonversi aktivitas usaha mereka menjadi daring dengan tetap mempertahankan toko buku fisik. Artinya, perjumpaan antara calon pembaca dan buku fisik itu harus tetap dipertahankan.

Sangatlah penting mendata kembali jumlah toko buku di Indonesia yang "masih hidup" apabila dikatakan jumlahnya merosot tajam. Secara fakta hal itu memang terjadi dengan berita penutupan sejumlah toko buku, tetapi data pasti sangat diperlukan untuk sebuah kebijakan.

Begitu juga tumbuhnya toko-toko buku baru harus terdata dengan baik, di samping juga pertumbuhan toko buku daring. Berapa penerbit yang memiliki platform toko buku daring sendiri. Apakah toko buku daring itu cukup signifikan menyumbang pendapatan?

Riset perbukuan ini penting untuk menyelamatkan toko buku atau memberikan gambaran peluang usaha toko buku untuk masa mendatang alih-alih menyehatkan ekosistem perbukuan nasional yang sedang saya sebutkan tadi, mari mati bersama pelan-pelan.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun