Selepas kegiatan rapat koordinasi persiapan Kongres Perbukuan Nasional II di Bekasi yang diselenggarakan Puskurbuk, saya pun pulang menuju Cimahi. Sampai di Cimahi, saya melewati kawasan pertokoan di Jalan Gandawiya, tiba-tiba pandangan saya tertambat pada spanduk di sebuah ruko. "Toko Buku Merauke: Segera Dibuka".
Terbetik juga rasa gembira ketika sebuah toko buku dibuka. Kondisi ini seperti antitesis dengan apa yang terjadi pada toko buku kita selama lebih dari dua dekade. Saya mengikuti perkembangan toko buku sebagai praktisi perbukuan.
Masa kecil saya juga tidak dapat dilepaskan dari toko buku ketika dulu di Tebing Tinggi menjadi sebuah kebiasaan. Saya mengunjungi Toko Buku M. Said Lubis yang terletak di tengah-tengah pasar. Toko buku itu seperti "surga" kecil yang memberi begitu banyak hiburan literasi. Bau kertas menguar dari tumpukan buku-buku baru, majalah, dan koran yang dihamparkan rapi.
Saya katakan sisa-sisa karena kompleks ruko itu sebagian telah berubah fungsi bukan lagi menjadi kantor penerbit atau toko buku. Di seberang kompleks, masih terdapat juga toko-toko buku yang menyisakan jejak sejarah Kwitang dan Senen sebagai pusat buku di Jakarta. Masih berdiri meskipun tertatih Toko Gunung Agung dan Toko Walisongo.
Senjakala Toko Buku
Para pengusaha toko buku bergabung dalam asosiasi bernama Gabungan Toko Buku Indonesia (GATBI). GATBI sebagai organisasi tetap ada, tetapi sebagai entitas yang berkiprah di dalam perbukuan Indonesia seperti tiada.
Sejarah berdirinya Ikapi sejatinya tidak dapat dipisahkan dari perkumpulan toko buku. Keanggotaan Ikapi dari daerah bermula dari Medan, Sumatra Utara, yang didukung oleh perkumpulan penerbit dan toko buku. Mereka kemudian rela meleburkan diri ke dalam Ikapi. Tercatat penerbit dan toko buku legendaris di Medan adalah Madju dan Masco.
Toko buku berjejaring juga bertumbuh kembang sejak tahun 1950-an seiring  bertumbuh kembangnya penerbit pasca terbentuknya Ikapi. Toko Gunung Agung (TGA) didirikan tahun 1953 di Kwitang. Kawasan Kwitang, Senen, dan Kramat betul-betul menjadi tempat keramat bagi pertumbuhan toko buku di Ibu Kota kala itu.
Pada tahun 1970 berdiri Toko Buku Gramedia yang kemudian menjadi toko buku dengan jejaring terbesar di Indonesia. Gramedia dan Gunung Agung seperti seiring sejalan menguasai pasar buku dan alat tulis di Indonesia. Mal-mal menjadi target mereka sehingga kehadiran mal selalu ditingkahi juga kehadiran kedua toko buku ini. Hanya kemenangan Gramedia terlihat kini dari lahan-lahan strategis yang mereka miliki di berbagai kota di Indonesia.
Di Indonesia seperti kelaziman bahwa sebuah usaha dibentuk dari hulu ke hilir. Hulu usaha perbukuan adalah penerbit dan hilirnya adalah toko buku.
Jadi, Gunung Agung dimulakan dari toko buku, lalu membentuk penerbit bernama Penerbit Haji Mas Agung (diambil dari nama pendirinya). Gramedia bermula dari penerbit, lalu membentuk toko buku. Begitu pula terjadi pada usaha perbukuan lainnya. Rata-rata penerbit besar pasti memiliki toko buku sendiri dan percetakan sendiri.
Hal ini juga terjadi pada Penerbit Tiga Serangkai yang membentuk Toko Tisera pada tahun 2003. Tisera menyasar pada pasar kelas menengah ke bawah, membentuk toko di mal-mal pinggiran kota seperti di Jatinangor dan di Cimahi (Jawa Barat) dan juga di beberapa tempat lain.