Oleh karenanya, tanpa tambahan informasi atau pengetahuan ilmiah baru, suatu karya tulis hanya dapat dipublikasikan "pertama kali dan sekali itu saja". Selanjutnya, sebagai bagian dari upaya memajukan ilmu pengetahuan, karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan rujukan untuk membangun-lanjut pemahaman yang awal itu.
Selain Permendiknas, ada rujukan lain soal etika publikasi ilmiah yakni Perka LIPI Nomor 15 tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah dan Pedoman Publikasi Ilmiah. Perka LIPI ini berlaku di lingkungan LIPI sendiri serta Kementrian/Lembaga Pemerintah, terutama bagi fungsional, seperti peneliti, perekayasa, dan perencana. Hal ini dapat terlihat dari rujukan Perka yang tidak menggunakan UU Sisdiknas dan UU tentang Guru dan Dosen.
Sewaktu dikti dan ristek masih digabung (Kemenristekdikti) tetap ada "dikotomi" bahwa PTN/PTS merujuk ke Dikti dalam soal aturan publikasi ilmiah, sedangkan Kementerian/Lembaga merujuk ke LIPI. Jika membandingkan pedoman publikasi ilmiah versi Dikti dan versi LIPI, terdapat beberapa kesamaan, bahkan pedoman Dikti cenderung juga menggunakan rujukan LIPI.
Sekarang kedua lembaga itu sudah terpisah lagi, Dikti di bawah Kemendikbud, sedangkan LIPI di bawah Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Kalau dibandingkan karya tulis ilmiah dosen dan peneliti (nondosen) itu tentu sama saja. Dasar hukum terkait plagiat seharusnya juga sama materinya, baik Dikti Kemendikbud maupun LIPI Kemenristek/BRIN. Dalam hal ini baik Dikti maupun LIPI dapat mengacu pada Kode Etika Publikasi Ilmiah yang bersumber pada Committee on Publication Ethics (COPE) dengan menjunjung tinggi tiga nilai etik berikut ini.
- Kenetralan yakni bebas dari pertentangan kepentingan dalam pengelolaan publikasi.
- Keadilan yakni memberikan hak kepengarangan kepada yang berhak sebagai pengarang.
- Kejujuran yakni bebas dari duplikasi, fabrikasi, falsifikasi, dan plagiarisme dalam publikasi.
Apakah swaplagiat harus dilarang? Jawaban ya karena termasuk pelanggaran etika publikasi ilmiah. Karena itu, aspek swaplagiat harus diatur di dalam regulasi, termasuk menyangkut guru dan dosen serta publikasi ilmiah. Sering kali kelemahan kita dalam soal aturan ini tidak detail, tidak jelas, dan cenderung membingungkan. Maka dari itu, batasan-batasan itu harus benar-benar jelas batasnya.
***
Sebagai editor di penerbit, saya pernah juga mengalami hal ini. Penerbit tempat saya bekerja tidak mengetahui penulisnya melakukan swaplagiat. Saya menemukan secara tidak sengaja buku lain yang ditulis si penulis dalam bentuk kumpulan artikel (republishig article). Hanya judul buku itu yang diubah, isinya sama.
Tindakan yang dilakukan penerbit adalah mengklarifikasi dan meminta pertanggungjawaban penulis soal karya yang sama dengan pembaca sasaran (pasar) yang sama sehingga karya buku itu akan saling menjadi kanibal. Jika terbukti, penerbit meminta penulis membatalkan buku yang diterbitkan di penerbit lain dan menarik buku tersebut. Selain itu, penerbit menghubungi penerbit lain yang menerbitkan karya tersebut sebagai klarifikasi dan informasi.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H