Ada tradisi disclaimer dalam penulisan karya, apakah itu fiksi atau nonfiksi. Saya belum menemukan padanan pas dari kata 'disclaimer' dalam bahasa Indonesia. Mungkin dapat disebut semacam peringatan atau pernyataan. Peringatan utama bahwa penulis atau pembuat karya melepaskan diri dari akibat-akibat hukum terhadap materi yang dibuatnya.
Disclaimer paling populer sering terbaca pada karya film, sinetron, atau karya fiksi yang menyatakan bahwa "apabila terdapat kesamaan nama tokoh, waktu, tempat, dan peristiwa, hal itu hanyalah kebetulan belaka".Â
Pada karya nonfiksi seperti buku, disclaimer sering muncul pada buku-buku kesehatan yang menyebutkan bahwa pembaca harus mengikuti petunjuk buku dengan saksama untuk suatu terapi atau harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter spesialis. Dengan demikian, apabila terjadi hal-hal yang bertentangan dengan isi buku, penulis sudah lebih dulu melepaskan diri dari akibat-akibat hukum.
Buku teks terbitan Kemendikbud edisi K-13 sempat memuat disclaimer. Di situ disebutkan bahwa buku teks yang diterbitkan adalah "dokumen bertumbuh". Arti sesungguhnya Kemendikbud lebih dulu menyatakan bahwa buku masih dalam proses penyempurnaan sehingga jika terdapat kekurangan atau kesalahan di dalamnya, pembaca perlu memaklumi karena itu masih merupakan dokumen yang bertumbuh kembang.
Tradisi pemuatan halaman disclaimer di dalam buku-buku nonfiksi tidaklah populer di Indonesia. Bagaimana dengan lembar soal yang baru-baru ini menghebohkan?
Sebutir soal ujian di DKI menjadi perbincangan. Sepintas soal pilihan berganda ini bagus saja, tanpa pretensi apa pun. Namun, penggunaan nama tokoh di dalamnya yang bermasalah.
Anies diejek Mega karena memakai sepatu yang sangat kusam. Walaupun demikian Anies tidak pernah marah. Perilaku Anies merupakan contoh ....
Tentulah tidak ada disclaimer di dalam penulisan soal bahwa jika terdapat kesamaan nama, hal itulah adalah kebetulan belaka. Pembuat soal mungkin berkilah bahwa Anies yang dimaksud bukanlah dengan Anies Baswedan dan Mega yang dimaksud bukanlah Megawati Soekarnoputri. Tidak ada maksud menggunakan nama pejabat dan tokoh politik itu.
Namun, tendensi politiknya terlihat kentara karena menggunakan nama tokoh politik yang sama. Selain itu, publik mafhum bahwa dalam beberapa hal Megawati pernah mengkritik kebijakan Gubernur Anies.
Hal yang lebih bermasalah lagi karena terdapat konotasi buruk bagi Mega di dalam soal. Mega sering mengejek Anies yang sepatunya kusam. Maka dari itu, imajinasi orang yang membaca soal ini boleh begini: Kasihan banget si Anies, jahat banget si Mega.