Namun, tunggu dulu, alih wahana bukan sekadar novel (buku) menjadi film, boleh juga sebaliknya. Boleh juga novel menjadi gim digital atau gim papan, serta mungkin juga menjadi bentuk-bentuk karya kreatif lainnya.
Gerilya Para Penerbit Mandiri
Sebagaimana terjadi pada krisis 1998, penopang ekonomi bangsa ternyata adalah para pelaku UMKM. Mereka masih dapat menggerakkan ekonomi meski tertatih. Dalam konteks perbukuan, penerbit UMKM, terutama penerbit mandiri (self-publisher) juga banyak sekali di Indonesia. Mereka adalah para penulis yang menulis dan menerbitkan bukunya sendiri, lalu menjualnya juga dengan usaha pemasaran bergerilya.
Pada masa pandemi, gerak para penerbit mandiri ini tetap terdeteksi. Saya sendiri sejak menyelenggarakan kelas daring penerbitan mandiri dan menggagas Forum Wirausaha Aksara Indonesia (FWAI) pada masa pandemi mendapati beberapa teman telah mendirikan CV dan menggerakkan usaha penerbitan mandirinya alih-alih juga menjadi usaha jasa penerbitan.
Buku-buku penerbit mandiri dicetak dalam skala kecil, mungkin hanya 50 sampai dengan 200 eksemplar dengan pencetakan manasuka (print on demand). Mereka menjualnya secara bebas melalui media sosial dan lokapasar tentunya, termasuk penjualan langsung lewat suatu acara. Selain buku cetak, mereka tentu juga menerbitkan buku secara elektronik dan menaruhnya di toko-toko buku elektronik. Mereka adalah penopang dahaga perbukuan pada masa pandemi dan pasca-pandemi meskipun dengan judul-judul buku yang terbatas. Itu sebabnya mereka memerlukan pembinaan, terutama dari pemerintah.
Sebuah Optimisme Perbukuan
Sekali lagi, saya bukanlah seorang futuris. Akan tetapi, saya memiliki tabiat seorang futuris dengan sikap optimistis terhadap masa depan. Peran buku takkan tergantikan oleh media lain walaupun ada yang beranggapan kita dapat belajar dari berbagai media selain buku. Buku tetaplah buku apa pun bentuknya, cetak atau elektronik yang memiliki kekhasan tersendiri sebagai himpunan informasi, pengetahuan, dan hiburan yang terstruktur dan berjenjang.
Jason Schenker menyatakan bahwa masa depan pendidikan adalah daring. Perbukuan termasuk oksigen dan energi bagi dunia pendidikan.Â
Akselerasi digitalisasi dalam dunia perbukuan, baik konten maupun pemasaran, adalah sebuah keniscayaan untuk dapat sekadar bertahan atau memulakan normal yang baru dalam bidang perbukuan. Konten adalah "nyawa" dari perbukuan sehingga peran para pencipta dan pengemas konten tidak dapat dikesampingkan.
Pengembang buku elektronik, sebuah profesi yang dimasukkan ke dalam UU Sistem Perbukuan bakal menjadi profesi yang paling dicari oleh penerbit. Ia bukan sekadar orang yang mengerti ilmu TIK atau desain. Ia adalah seseorang yang memahami konten dan bagaimana konten itu dapat dikreasikan sebagai buku elektronik yang menggugah, mengubah, dan mengandung daya pikat.
Para artisan dunia perbukuan sudah dapat beradaptasi dengan kerja secara jarak jauh tanpa harus ke kantor. Ini adalah sebuah pilihan paling logis di tengah pandemi dan menjadi sebuah normal baru pascapandemi.Â
Pertemuan virtual dapat dilaksanakan via aplikasi konferensi video. Demikian pula pemantauan pekerjaan dapat dilakukan melalui aplikasi semacam Google Doc. Penerbit masa depan adalah penerbit yang tak lagi memerlukan banyak orang berkumpul di redaksi. Pekerjaan penerbitan buku sebagai jasa akan semakin berkembang dan menemukan momentumnya.
Oleh karena itu, diperlukan pemimpin-pemimpin baru dalam bidang perbukuan yang visioner dalam melihat pandemi dan pasca-pandemi sebagai peluang untuk berkembang, terutama dalam konteks industri kreatif berbasis konten. Kita yang menjadi pemimpin kini juga diuji untuk menggagas sekaligus menggegas perubahan dalam lanskap perbukuan.[]