Saya masih ingat ketika krisis 1998 terjadi dan saya masih bekerja di sebuah penerbit buku pendidikan, manajemen saat itu mengambil kebijakan pengetatan karena daya beli masyarakat yang menurun.Â
Meskipun begitu, kami masih bebas bergerak dan bergerilya menerbitkan serta memasarkan buku tanpa rasa takut terancam jiwa dan raga. Akan tetapi, krisis akibat COVID-19 sungguh berbeda. Ketakutan benar-benar nyata melanda banyak orang karena bertaruh nyawa.
Pemerintah gamang, apalagi masyarakat awam yang turut tergagap-gagap. Saya pribadi terkena dampak juga sebagai tukang buku keliling.Â
Tiga kelas tatap muka yang sudah dijadwalkan di tiga kota, berantakan dan akhirnya batal. Namun, tetap ada hikmah, terutama bagi orang Indonesia. Saya menggeber kelas daring penulisan dan penerbitan via aplikasi konferensi video hingga berlangsung puluhan kelas dalam beberapa bulan.
Dari sisi kreativitas, bekerja di/dari rumah membuat saya mampu menyelesaikan beberapa buku, termasuk buku cepat saji yang diterbitkan secara elektronik dan dibagikan gratis. Buah dari terkunci sementara di rumah.
Apakah Kini Saatnya Buku Elektronik?
Buku elektronik dianggap sebagai buku masa depan. Namun, apakah buku elektronik adalah buku masa depan untuk kasus COVID-19? Saya kira buku elektronik sudah berjalan sesuai dengan agendanya. Apakah COVID-19 mempercepat agenda buku elektronik diwujudkan secara besar-besaran, terutama di Indonesia? Sebagai sebuah solusi, ia pantas dipikirkan dan dijalankan dengan lebih masif.
Perubahan perilaku orang membaca buku cetak menjadi buku elektronik karena COVID-19 tampaknya tidak signifikan dihitung sebagai dampak potensial. Akan tetapi, fakta bahwa orang-orang akhirnya lebih banyak menghabiskan waktu dan berkegiatan di rumah dengan membaca buku adalah keniscayaan. Jika sebagian orang lebih senang membeli buku, lalu tetap menyimpannya tanpa membuka plastik pelindung, kini mereka mulai melirik buku-buku itu dan membacanya. Hal tersebut juga terjadi pada diri saya yang gemar membeli buku, tetapi kadang tak punya waktu membaca.
Jadi, saya sebagai generasi X tetap mendambakan buku cetak dan perjumpaan fisik dengannya. Setelah masa PSBB di Kota Bandung--tempat saya bermukim--usai, saya mulai berkunjung ke toko buku. Lebih dari enam bulan saya tidak berjumpa buku baru secara fisik. Di sebuah jejaring toko buku besar, tampak hal yang sedikit berbeda. Buku-buku baru tak banyak dan toko itu menggunakan penerangan yang nyaris temaram tanpa semangat. Namun, saya tetap menemukan buku baru, salah satunya buku Jason Schenker yang telah diterjemahkan.
Memang tidak terbayangkan jika COVID-19 terjadi sebelum teknologi digital begitu masif seperti saat ini. Tentu tidak ada yang namanya "daring-daring" itu. Alhasil, sebagian besar harapan kini digantungkan pada internet. Penerbitan buku jelas sebagai produk dan jasa yang dapat dikendalikan dari jarak jauh--sudah terjadi jauh-jauh hari sebelum adanya pandemi.
Kembali pada soal buku elektronik, agenda pengonversian buku fisik menjadi buku elektronik saat COVID-19 atau setelah COVID-19 tetap berlangsung dengan atau tanpa akselerasi. Hal yang nyata terjadi adalah pembalikan proses ketika buku-buku elektronik lebih dulu diterbitkan daripada buku fisik. Buku-buku elektronik menjadi pilihan sekaligus harapan memberitakan buku baru kepada masyarakat pembaca dengan cara yang sangat masuk akal, baik dari segi biaya maupun kecepatan. Apakah buku elektronik akan menjadi andalan pascapandemi? Jawabnya YA dengan sebuah konsep baru pengembangan buku elektronik tentunya.
Toko buku elektronik menjadi penting saat pandemi ataupun pascapandemi. Namun, beberapa toko buku elektronik di Indonesia sudah rontok terlebih dahulu alias layu sebelum berkembang, termasuk milik dua perusahaan besar: Qbaca (PT Telkom) dan Cipika Bookmate (Indosat Ooredoo). Saatnya toko buku elektronik dibangun kembali.