Sedang menjadi tren istilah new normal dampak pandemi COVID-19 yang melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Istilah new normal ini mengacu pada protokol yang harus dilakukan oleh tiap individu untuk mengantisipasi persebaran virus corona, bahkan protokol ini juga harus dijalankan suatu kelompok masyarakat hingga suatu negara atau bangsa.
Secara mudah kita dapat mendefinisikan new normal sebagai suatu keadaan yang "memaksa" perubahan perilaku sehingga kita menerimanya sebagai kelaziman atau kewajaran yang harus dijalani.Â
Kondisi pandemi corona dipercayai tidak akan lagi sama dengan kondisi sebelum virus corona merebak dan melewati batas-batas wilayah dunia.
New normal atau kelaziman baru ini harus diterima dalam kehidupan kita sehari-hari sepanjang vaksin virus corona belum ditemukan dan pandemi ini berakhir. Bahkan, WHO menyatakan virus corona akan bersama manusia untuk waktu yang lama.Â
Beberapa negara menurut Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, masih memasuki fase awal pandemi. Jadi, bakal ada gelombang puncaknya.Â
Apakah Indonesia termasuk yang berada pada fase awal tersebut? Saya ngeri-ngeri sedap membayangkannya karena baru dua bulan saja diberlakukan PSBB, kita sudah tidak tahan untuk keluar rumah menjadi "orang normal" kembali. Jangan-jangan setelah lebaran bukannya menurun, kasus positif corona bakal bertambah kembali.
Walaupun begitu, kita dianjurkan untuk tetap optimistis sepanjang mengikuti anjuran pemerintah dan otoritas kesehatan di negeri ini. Jika tidak, tagar kritik #IndonesiaTerserah itu memang membuktikan bahwa kebanyakan kita bersikap masa bodoh soal kelaziman baru yang mengubah perilaku kita. Perilaku kita tetap sama saja, cuek dan santuy.
Saya hendak menuliskan soal kelaziman baru dikaitkan dengan penulis buku. Profesi ini termasuk yang terkena imbas pandemi corona meskipun imbas itu bukan berpengaruh pada proses kreatifnya.Â
Imbas yang paling terasa adalah kehilangan potensi imbalan dari hasil menulis buku. Penulis buku harus bersiap dengan kelaziman baru yang akan diterapkan oleh penerbit atau kliennya. Bagi dirinya sendiri, kelaziman baru itu semestinya tidak ada.
Ketika Penulis Memasuki Kelaziman Baru
Jika perkara kelaziman baru ini dikaitkan dengan para penulis buku, tampaknya hal ini sudah lama berlaku. Penulis buku umumnya adalah makhluk soliter alias orang yang senang menyendiri.Â
Soliter tentu tidak identik dengan intover. Meskipun awalnya menyendiri, seorang penulis memublikasikan gagasannya (pikiran dan perasaan) kepada orang banyak.Â
Memang aktivitas menulis buku memerlukan ketenangan dan kesendirian. Jadi, penulis buku itu sudah lazim melakukan perenggangan demi perenggangan seperti berikut ini.
- Kalau disebut ia melakukan perenggangan sosial (social distancing) itu sudah sering dilakukannya. Seberapa riuhnya obrolan di kafe atau di tempat kerjanya, ia takkan melayani obrolan atau pertanyaan saat menulis. Ia menjadi antisosial dalam keadaan tertentu. Bahkan, ia memilih menulis saat orang lain tertidur dan memilih tidur saat orang lain terjaga.
- Kalau disebut ia melakukan perenggangan fisik (physical distancing), tentu apalagi. Penulis tidak akan memilih dekat-dekat orang lain saat menulis karena bakal sulit mengetik dan mengganggu konsentrasinya. Ketika hendak menulis di restoran kereta api, saya berusaha memilih tempat yang tidak berhadapan dengan orang lain--meskipun sebenarnya dilarang bekerja di kereta api.Â
- Nah, ini istilah baru yaitu perenggangan suasana (atmosphere distancing). Hahaha ini istilah saya saja. Jadi, penulis itu seberapa pun ingar bingarnya suasana di tempat ia menulis, ia sudah melakukan perenggangan perasaan dan pikirannya untuk tidak terlibat dengan suasana. Ini sebuah keunikan tersendiri. Ada juga fakta seorang penulis yang tiba-tiba undur diri dari media sosial, kemungkinan memang ia sedang menulis buku yang memerlukan konsentrasi tinggi. Tapi, ada juga kemungkinan ia lagi terbelit masalah sehingga tidak mampu menulis lagi di media sosial.
- Satu lagi, penulis tidak ada masalah apakah disuruh menulis dari rumah, dari kantor, dari hotel, atau dari tadi. Ya, waktu dan tempat menulis tak menjadi masalah bagi seorang penulis profesional. Kalau saya berkilah, menulis itu dari hati dan pikiran. Jadi, yang namanya hati dan pikiran itu selalu ada bersama diri saya sehingga tidak masalah kapan pun dan di mana pun saya dapat menulis. Namun, jika dibandingkan karantina, penulis sering juga melakukannya dengan "mengarantina" dirinya untuk menyelesaikan suatu proyek penulisan. Berinteraksi hanya untuk makan dan minum.
Jika pun ada kelaziman baru yang dimasuki penulis buku, ia tak lagi dapat bertemu pembacanya secara fisik dalam acara peluncuran buku dan bedah buku. Acara-acara itu tergantikan dengan pertemuan daring menggunakan aplikasi konferensi video.Â
Untungnya, acara itu dapat dihadiri siapa pun tanpa batasan ruang. Demikian pula pameran-pameran buku yang sering menghadirkan sosoknya, kini tergantikan dengan kegiatan secara daring.
Beberapa penerbit menunda pencetakan buku sehingga yang ditawarkan buku diterbitkan dulu secara elektronik. Sang penulis buku pun harus menerima bukunya tak lagi dapat dipegang dan ditimang-timang.Â
Buku elektronik diterbitkan lebih dulu daripada buku cetak menjadi sebuah kelaziman baru yang harus diterima para penulis buku, terutama di Indonesia--meskipun bagi beberapa orang ini juga sudah dilakukan pada masa sebelumnya.
Kelaziman baru yang paling mengharukan bagi para penulis buku mungkin, mungkin ini ya, royalti tak lagi selancar atau sebesar masa sebelum corona. Tapi, yang satu ini tidak boleh mematahkan semangat untuk menulis buku.Â
Penulis dapat membantu penerbit menjual bukunya sendiri--ini sih bukan kelaziman baru karena dari dulu juga penulis diminta membantu penjualan buku.
Tetap Berkarya Saat Corona
Ini bukan kelaziman baru, melainkan tren yang sudah dapat ditebak yaitu munculnya buku-buku bertajuk corona. Itulah penulis buku, apa pun yang terjadi menyangkut peristiwa, fenomena, dan momentum bakal terbit dalam bentuk buku. Dengan keistimewaannya melakukan perenggangan sejak lama maka penulis sudah mampu beradaptasi pada zaman corona ini.
Ia malah punya kesempatan menyendiri lebih lama lagi untuk menghasilkan karya-karya baru yang berpengaruh, tak harus tentang corona. Jadi, tidak perlu distimulus, para penulis buku itu sudah pasti dengan instingnya akan menulis dan menulis.Â
Jika distimulus, apakah itu dengan iming-iming uang atau hadiah wisata dan umroh, tentu penulis bakal menggebu lagi menulis dalam kesendiriannya.
Terkait kelaziman baru, saya jadi ingat buku Mark Manson yang berjudul menarik itu Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat: Pendekatan yang Waras Demi Menjalani Hidup yang Baik.Â
Ingatan saya bukan hendak mengatakan bodo amat dengan kelaziman baru, melainkan bagaimana kita bersikap dalam konteks tetap menulis sesuatu yang bermutu dalam situasi pandemi ini.
Corona memberi pelajaran amat berharga di dalam kehidupan kita; memantik begitu banyak gagasan baru tentang arti berjuang, bertahan, dan bergerak mengatasi guncangan dari banyak sektor. Penulis punya kekuatan menggerakkan penanya untuk sekadar menyemangati pembacanya atau terlebih lagi memberi solusi.
Baiklah kalau begitu. Selamat memasuki kelaziman baru kalau itu disebut sebagai kelaziman baru agar kita tetap waras.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H