Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bagaimana Writerpreneur Bertahan dalam Krisis Pandemi?

5 Mei 2020   08:14 Diperbarui: 5 Mei 2020   11:47 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Engin Akyurt/Unsplash

Kolega saya sempat mewanti-wanti saat akhir 2019 tentang resesi yang akan terjadi pada 2020 sebagai siklus sepuluh tahunan. Waktu itu tidak pernah terbayangkan bahwa krisis yang terjadi malah disebabkan oleh corona alias COVID-19. Bahkan, sebelum itu kami bersama tim kerja sempat berplesiran pertengahan Januari 2020 ke Shenzen tanpa tahu bakal ada serbuan virus ke Wuhan, Cina.

Jika kami pergi ke Shenzen setelah lockdown Wuhan, tentu kami bakal dikarantina karena menumpang pesawat Southern China Airlines yang dipenuhi orang Cina. Jadi, sebagai orang Indonesia yang penuh keberuntungan, untungnya kami ke Senzhen sebelum pandemi merebak.

Pandemi pun mampir ke Indonesia. Semua mulai kena imbas pada akhir Maret 2020, tidak terkecuali saya yang berprofesi sebagai wirausaha aksara (writerpreneur). 

Beberapa kelas pelatihan yang bagi saya dapat menghasilkan belasan juta dalam satu kegiatan, akhirnya ditunda, bahkan tidak jelas apakah dapat dilanjutkan.

Dalam sebuah diskusi di WAG antarsesama writerpreneur, kami sempat membicangkan antisipasi krisis yang bakal berkepanjangan, paling tidak sampai akhir tahun. Apa yang dapat dilakukan oleh para writerpreneur?

Ini jelas ujian bagi kami yang menyebut diri writerpreneur--yang menggantungkan hidupnya dari menata aksara. Ilmu-ilmu kanuragan yang memerlukan kecepatan, keterampilan tingkat tinggi, dan ketepatan harus digunakan. Kalau tidak, kami pun rentan digilas Zaman Corona yang bikin merana ini.

1. Berikhtiar Melalui Kelas Daring

Saya mencoba membalikkan keadaan dengan mengadakan kelas daring (online) yang kini juga menjamur pada musim corona, bukan musim hujan. 

Sejak April 2020 hingga kini, ada lima kelas daring berbayar yang saya selenggarakan. Teman saya, Anang YB, sampai-sampai mengingatkan untuk menjaga kesehatan karena tampak saya ngebut menggelar kelas.

Saya mengandalkan topik unik dan tentu jenama (personal brand) serta jam terbang di dunia writerpreneur. Topik kelas daring yang sudah saya selenggarakan, yaitu 11 Hari Menulis Buku Nonfiksi, Penyuntingan Bahasa, Konversi KTI Nonbuku Menjadi Buku Ilmiah Populer, dan Menulis Buku Ajar Perguruan Tinggi. Awalnya saya menggunakan aplikasi WAG untuk mengajar dan kini beralih ke aplikasi Zoom.

Kelas paling banyak diikuti oleh 60 orang dan paling sedikit oleh 6 orang. Kelas termurah Rp300.000 untuk dua hari penyelenggaraan dan kelas paling mahal Rp399.000,00. 

Tampaknya angka psikologis untuk kelas daring semacam ini paling mahal adalah Rp300.000,00 dan paling murah adalah Rp100.000,00 bergantung pada durasi penyelenggaraan.

Kelas saya dengan dua hari penyelenggaraan senilai Rp300.000,00 boleh dibilang kelas murah meriah dibandingkan kelas luring yang berbiaya jutaan. Walaupun begitu, saya menyiapkan kelengkapan bahan ajarnya dengan serius.

Sempat juga saya dibuat senewen oleh salah seorang peserta yang bertanya dan mempermasalahkan bahan ajar risalah (handout) yang saya bagikan lebih dulu, padahal kelasnya belum dimulai. 

Saya coba menjawab satu per satu pertanyaannya seperti memberikan konsultansi khusus, tetapi sang peserta mulai berulah di grup WA. Alhasil, saya mengembalikan uangnya dan mencoretnya dari daftar peserta.

Untuk hari-hari ke depan, saya masih menyimpan banyak materi unik yang siap dikeluarkan pada waktunya. Saya memberi nilai tambah dengan membuatkan risalah materi (handout) dan salindia presentasi untuk setiap kelas daring yang saya selenggarakan berikut kesempatan berkonsultasi bagi para peserta.

Namun, ada hal yang harus dipertimbangkan bahwa alokasi dana demi peningkatan kompetensi pada setiap orang berbeda-beda.  Ada yang punya dana berlebih, dan ada pula yang terbatas. 

Saya tidak dapat memprediksi sampai kapan orang berkepentingan terhadap kegiatan peningkatan kapasitas diri ini jika pandemi COVID-19 berkepanjangan.

Pertanyaannya apakah dana tersebut akan tetap tersedia sampai akhir tahun?

Bagaimana dengan model pelatihan dalam program kartu prakerja? Tak sempat pula saya mendaftarkan pelatihan untuk mengajari orang bagaimana bertahan hidup dengan tulisan di program kartu prakerja itu.

Sebenarnya ketika penulisan menjadi jasa yang dapat dijual, paling tidak orang yang berstatus prakerja dapat bertahan. Namun, ilmu penulisan bukan pula ilmu instan yang dapat dikuasai dengan mudah dan serbacepat lalu menghasilkan uang.

Pasar yang masih menjanjikan untuk pelatihan selain menyasar perseorangan adalah pasar lembaga/institusi yang menyelenggarakan pelatihan griaan (in-house). 

Saya lagi bergerilya menawarkan pelatihan berbasis kompetensi (PBK) dengan nilai Rp2 jutaan untuk durasi 20 jam pelajaran. Ini harga berat, tetapi pelatihannya juga bermuatan berat.

2. Berikhtiar Melalui Jasa Penulisan-Penerbitan

Bagaimana dengan jasa penulisan-penerbitan? Alhamdulillah ikhtiar ini juga ternyata masih dapat diandalkan.

Saya masih mendapatkannya. Saya masih menyisakan satu pekerjaan menulis dan menyunting laporan dari sebuah lembaga pemerintah sebelum corona merebak. 

Pekerjaan dari lembaga pemerintah semacam ini pun tidak lagi dapat diprediksi ketika semua lembaga/kementerian mengalami pemotongan anggaran tersebab COVID-19.

Melalui situs web yang memasarkan jasa penulisan-penerbitan, saya juga masih menerima sebuah tawaran pekerjaan menulis autobiografi. Melalui aplikasi Zoom, saya dan klien sempat berdiskusi awal dan langsung menuju pada kesepakatan. Sang klien pun mentransfer uang muka autobiografi senilai harga N-Max.

Dalam beberapa hari ini saya juga menerima pekerjaan meninjau lima buku anak sembari memberi saran penyuntingan. Satu buku dihargai sejutaan sekali meninjau. Pekerjaan dari lembaga penerbit seperti ini masih mungkin juga saya terima.

3. Berikhtiar Menjual Buku

Ini juga salah satu yang masih dapat diusahakan oleh seorang writerpreneur melalui penjualan langsung bukunya. Penjualan di toko buku fisik sudah menurun, melalui toko buku maya kemungkinan masih ada. Namun, di toko buku maya, buku kita bersaing dengan buku-buku lainnya.

Para penulis buku yang mengharapkan royalti dari hasil penjualan bukunya untuk semester ini atau akhir tahun juga bakal terancam. Penjualan fisik buku mandek di toko-toko buku karena banyak yang tutup. Karena itu, jalan yang paling mungkin adalah menjual buku secara langsung ke pembeli potensial.

Saya juga melakukannya meskipun yang membeli hanya ada 1--2 orang. Tetap ada pergerakan asalkan rajin beriklan dan menyasar para pembeli potensial. Saya hanya mengandalkan iklan di Facebook dan Instagram.

4. Berikhtiar Menawarkan Jasa Konsultansi

Saya masih memiliki satu kontrak konsultansi penerbitan sampai akhir tahun dan juga masih terlibat di kepanitiaan penilaian buku dan penyusunan regulasi di lembaga pemerintah. Honor yang saya terima masih melegakan untuk menutupi kebutuhan.

Jasa ini tentu dapat saya laksanakan karena rekam jejak dan jam terbang di dunia penulisan-penerbitan. Saya memupuknya sejak 25 tahun yang lalu.

Jika saya mengadakan jasa ini untuk perseorangan berupa pendampingan menulis, kemungkinan juga ada yang bersedia. Beberapa orang dari kelas menengah ke atas masih memiliki kemampuan sekaligus impian untuk mewujudkan karyanya.

***

Sebagaimana yang saya tulis di buku 5W + 1H Writerpreneur: Panduan Insaf Pekerja Teks Komersial ada tiga macam pasar yang dapat disasar seorang writerpreneur: 

1) pasar perseorangan yang memerlukan jasa penulisan dan penulisan pendampingan; 2) pasar korporasi bisnis yang memerlukan jasa penulisan-penerbitan dan konsultansi; 3) pasar pemerintah yang memerlukan jasa penulisan-penerbitan dan konsultansi.

Dalam menghadapi Krisis Corona, semua pasar menjadi rentan. Namun, saya tetap berhusnuzan ada saja peluang untuk memberikan jasa dari pengetahuan dan keterampilan yang saya miliki, yaitu menulis, menyunting, dan menerbitkan buku.

Saya harus bertahan karena selain sebagai seorang writerpreneur yang berikhtiar secara pribadi, saya pun adalah pemilik usaha bisnis di bidang penerbitan, pelatihan, dan sertifikasi. Dapat dibayangkan pusingnya benak kini mempertahankan karyawan dan mesin bisnis tetap berjalan.

Apakah saya harus mengikuti kelas daring bertajuk  "Tetap Eksis Saat Krisis"? Siapa tahu saya mendapatkan pencerahan tetap berjaya dengan wirausaha aksara.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun