Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Naikkan Posisi Tawar di Tangga Karier

22 Januari 2020   07:08 Diperbarui: 22 Januari 2020   09:58 2904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini tentang meniti karier (ejaan nonbaku: karir) dari bawah sampai ke puncak. Saya mengalami dinamika sebagai karyawan sejak tahun 1995, lalu pensiun pada tahun 2011. Saya meniti karier di bidang penerbitan buku bermula dari jabatan copy editor (editor naskah) di sebuah penerbit nasional di Bandung. Kala itu tidak terpikir soal jabatan idaman. Bagi saya diterima bekerja saja sudah senang luar biasa.

Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama ketika saya sudah masuk pada rutinas pekerjaan. Setelah melewati masa satu setengah tahun bekerja, saya mendapat tawaran dari penerbit lain. Saya memutuskan keluar untuk satu tantangan baru. Ini merupakan satu keputusan penting yang pernah saya ambil dalam karier saya.

Di perusahaan pertama, tempat saya bekerja, keluar atau resign adalah sesuatu yang tabu. Hampir tidak pernah ada karyawan yang keluar, apalagi karyawan yang relatif baru. 

Namun, saya melakukannya ketika melihat sistem yang berlaku di perusahaan. Tidak memungkinkan bagi saya menyalip para senior saya dari segi pendapatan maupun jabatan. Senior akan terus berada di atas saya seberapa keras pun saya bekerja.

Di perusahaan yang baru saya memulai posisi juga dari bawah, tetapi diberi kepercayaan bersama tim mengembangkan divisi baru penerbitan. Di sini saya mulai leluasa unjuk kerja dengan turut juga menulis buku. Bahkan, saya mengerjakan banyak hal dari mulai menulis, menyunting, mengatak (menata letak) halaman buku, hingga mengurus pameran buku.

Ada satu hal berharga yang saya pelajari dari perusahaan pertama yaitu belajar rela untuk tidak memilih-milih pekerjaan. Apa pun saya lakukan kala itu, bahkan mendampingi sopir untuk mengantar parsel lebaran ke para penulis juga saya jalani. Saya menikmati disuruh mengerjakan apa pun sambil belajar banyak hal.

Saya belajar menulis dari para penulis senior yang saya temui. Saya belajar mengatak halaman buku dari teman-teman yang ikhlas mengajari saya menggunakan aplikasi Pagemaker (pada masa itu) dan perangkat Macintosh. Saya juga belajar copy writing, menulis teks iklan untuk buku karena diperintahkan senior saya.

Tanpa saya sadari, posisi tawar saya menaik dari beberapa keterampilan yang kemudian saya kuasai, salah satunya menulis buku. Ketika diumumkan tentang penulis yang lolos penilaian buku pelajaran di Kemendikbud, nama saya tersebut. 

Sejak itu saya menjadi sorotan pimpinan perusahaan yang baru dan diberi kesempatan untuk ikut terlibat dalam proyek-proyek penting yang digagas perusahaan.

Dengan posisi tawar saya yang menaik sebagai penulis, editor, dan juga memahami desain buku, tangga karier pun satu per satu saya jejaki. Jabatan saya naik sebagai kepala bagian, asisten manajer, lalu manajer. 

Setelah itu saya sempat keluar dari perusahaan untuk mendirikan usaha sendiri, tetapi gagal. Balik lagi ke perusahaan lama, saya diberi jabatan division head setara GM.

Tidak lama saya menjadi division head, saya kembali keluar dan bergabung dengan MQ Corporation milik Aa Gym. Saya langsung menempati posisi sebagai direktur di MQ Publishing---divisi penerbitan. 

MQ Publishing kemudian dimerger dengan MQS, lalu jadilah saya direktur utama MQS. Di MQ saya juga sempat merangkap jabatan sebagai pemimpin redaksi Tabloid MQ.

Usia saya ketika menjadi direktur 31 tahun---hal yang sangat saya syukuri karena mendapatkan banyak pelajaran berharga soal bisnis. Setelah episode di MQ saya lalui, saya balik lagi ke perusahaan lama untuk mendirikan penerbit baru. 

Saya menempati posisi sebagai vice president, lalu satu tahun lebih berselang menjadi direktur utama. Terakhir, saya hijrah ke penerbit di Solo dan menempati posisi sebagai GM.

***

Karier saya memang berkelok-kelok sebagai kutu loncat, tetapi merambat naik dalam waktu yang tidak lama. Saya orang yang cenderung senang dengan tantangan. 

Bagi saya tawaran mendirikan usaha baru atau menyehatkan penerbit yang "sedang sakit" itu menarik. Saya tidak menyukai zona nyaman yang kerap membekukan kreativitas.

Saya juga tidak memburu jabatan idaman. Namun, saya sadari untuk membuat satu perubahan maka saya harus menempati posisi puncak. Kalau tidak, apa yang kita gagas tidak akan digubris.

Faktor kedekatan dengan pemilik atau pimpinan tertinggi perusahaan memang memengaruhi. Namun, kedekatan itu dibangun dengan peningkatan kompetensi untuk menaikkan posisi tawar. 

Saya mengondisikan perusahaan menjadi sangat bergantung pada saya. Apalagi, saya berada di industri kreatif yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan gagasan, baik itu gagasan pengembangan produk maupun gagasan pemasaran.

Jadi, jika saya ada, perusahaan stabil. Jika saya tidak ada, perusahaan akan labil. Jangan dibalik. Saya ada, perusahaan labil; saya tidak ada, perusahaan stabil. Jangan juga menjadi saya ada dan tiada, perusahaan tidak terpengaruh. Ya, itu rumus posisi tawar.

Dulu saya sempat mendengar sebuah nasihat ketika menjadi karyawan. Jadi begini, dengan pimpinan atau pemilik perusahaan itu usahakan jangan terlalu jauh dan jangan pula terlalu dekat. Dengan kata lain, menjaga jarak. Namun, menjaga jarak akan membuat kita tidak terlalu terlibat dalam dinamika perusahaan. Itu namanya cari aman.

Dalam pengalaman saya, kedekatan saya dengan pemilik dan pimpinan perusahaan memang kadarnya terlalu. Bahkan, terkadang terlibat juga pada persoalan pribadi mereka. Ini risiko berada di puncak dan saya sulit untuk menghindarinya. Apalagi, waktu itu ada SOP perusahaan untuk menyalakan ponsel selama 24 jam.

Senjata saya hanya posisi tawar. Ketika ada perintah perusahaan yang tidak sesuai dengan pemikiran dan pandangan saya, saya akan mengajukan keberatan. Posisi tawar yang tinggi membuat saya bersikap nothing to loose.

***

Kompetensi adalah satu kata yang juga penting harus dibangun sejak awal. Boleh jadi semua telah kita pelajari pada saat di bangku sekolah atau bangku kuliah, tetapi pelajaran yang paling nyata adalah di dunia kerja. 

Karena itu, jika kita berposisi sebagai lulusan baru (fresh graduate), sikap yang lebih aman adalah menjadi pendengar, pengamat, dan pelaksana yang baik. 

Boleh-boleh saja membenturkan teori/konsep semasa belajar di sekolah atau perguruan tinggi dengan kenyataan yang ada. Namun, jangan jadikan sebagai argumentasi untuk berdebat, apalagi dengan para senior.

Bangun kompetensi cepat-cepat, bukan pelan-pelan. Dengan kemajuan teknologi saat ini, tempat mengasah kompetensi boleh ada di mana pun. Kompetensi menjadi mata uang yang laku di mana pun tanpa memerlukan teknik tambahan seperti bagaimana menjilat atasan, bagaimana mematikan langkah teman sekerja, atau bagaimana berbuat curang dalam soal gagasan.

Akan tetapi, jangan salah, di perusahaan mana pun selalu ada politik, bahkan yang menyatakan diri sebagai perusahaan penuh kekeluargaan. Dalam sebuah buku yang pernah saya baca, bahkan psikopat pun berkeliaran di perusahaan.

Politik itu terkadang dimanfaatkan segelintir orang untuk meraih jabatan dan politik itu dimainkan pada posisi-posisi puncak. Hal yang paling berbahaya jika orang-orang itu menghalalkan segala cara.

Pengalaman berorganisasi saat di sekolah atau di kampus akan sangat bermanfaat ketika meniti jabatan idaman di perusahaan. Bukan apa-apa, pengalaman berorganisasi itu membuat kita waspada dan tidak tampak seperti seekor rusa masuk kampung.

Saya jadi ingat tentang Kecakapan Abad 21 yaitu berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan berpikir kreatif. Memang empat kompetensi atau kecakapan inilah yang dperlukan untuk meraih jabatan idaman sampai ke puncak pada saat ini. Kompetensi menjadi jati diri agar perusahaan menempatkan posisi kita pada tempat yang benar (right man in the right place), bukan sebaliknya.

***

Jika keputusan yang diambil benar, kita beruntung. Keputusan salah maka kita belajar dari situ. Tidak mengambil keputusan maka kita akan terus berada di zona nyaman, aman, tenteram, dan sentosa sampai tutup usia---dalam arti tak ada kemajuan.

Pada akhirnya kita semua akan tua. Karier tidak mungkin dapat diulang kembali. Celaka jika kita baru sadar dan bangun dari tidur ketika usia sudah memasuki kepala empat, bahkan usia masuk kepala tiga saja sudah menjadi peringatan untuk berbenah soal kaier dan jabatan idaman.

Selamat beraktivitas![]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun