Sampai kemudian lahirlah generasi baru penulis buku cerita anak Indonesia. Saya dapat menyebutkan generasi Ali Muakhir, dkk. Saya sendiri terlibat di dalamnya. Generasi itu mulai meramaikan industri buku anak dengan tema lebih beragam dan lebih maju.Â
Di antara para penulis itu dapat saya sebutkan di sini, seperti Ali Muakhir, Imran Laha, Tasaro GK, Benny Rhamdani, Ary Nilandari, Iwok Abqari, Dian Kristiani, Watiek Ido, Eva Nukman, Debby Lukito, Agnes Bemoe, Fita Chakra, Sofie Dewayani, Arleen A., dan banyak lagi (ingatan saya terbatas saking banyaknya).Â
Gerbong paling panjang adalah gerbong Forum Penulis Bacaan Anak yang ditumpangi ribuan penulis buku anak. Lalu, ada lagi gerbong yang ditarik oleh Room to Read (RtR) dan Yayasan Litara yang dimotori oleh Sofie Dewayani dalam beberapa tahun terakhir ini. Di Ubud Writers Festival, karya sastra anak juga mulai mendapat tempat untuk dibincangkan.
Dewan Juri SCA DKJ sebenarnya sedang menggugat mengapa para sastrawan tidak "turun gunung" menulis buku cerita anak. Siapa itu para sastrawan? Apakah para penulis buku cerita anak selama ini tidak dapat disebut sastrawan?Â
Nah, bagi saya ruang dialog atau mau lebih ekstrem lagi ruang debat harus dibuka untuk soal ini. Apakah seorang Road Dahl tidak dapat disebut sastrawan?
Namun, di satu sisi saya tidak memungkiri bahwa ada tendensi "menggampangkan sastra anak" pada sebagian besar penulis.Â
Mereka yang kebanyakan masuk ke wilayah sastra anak atau buku anak sekadar coba-coba. Mereka sama sekali tidak mengerti sastra anak dan paham dunia anak-anak. Tentang hal ini saya punya pengalaman juga sebagai juri dan anggota panitia penilaian buku nonteks di Pusat Perbukuan.
Anggap Sebagai Pemantik
Bagi saya laporan pertanggungjawaban Dewan Juri SCA DKJ itu anggap saja pemantik tentang perhatian kita terhadap perkembangan sastra anak Indonesia, dalam hal ini buku bagi anak-anak.Â
Kita pahami bersama bahwa industri buku anak adalah industri besar yang menghasilkan banyak rupiah, apalagi dengan potensi pasar yang besar.
Namun, harus diakui sebagian besar buku yang terbit masih kalah kualitas dibandingkan buku anak di luar sana. Di ajang Bologna International Book Fair, pameran buku anak terbesar di dunia, penulis buku anak kita mulai unjuk gigi dengan difasilitasi oleh Bekraf dan Komite Buku Nasional. Namun, persoalan unjuk gigi ini tidak menggambarkan persoalan nyata kemajuan sastra anak/buku anak kita.Â