Para penulis buku anak riuh di media sosial. Apa pasal? Dewan Juri Sayembara Cerita Anak (SCA) Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memublikasikan pertanggungjawaban mereka atas keputusan tidak adanya juara I, juara II, dan juara III.Â
Saya juga ikut berkomentar di Facebook tentang pandangan skeptis adanya buku anak yang bermutu atau memang sangat berpengaruh bagi anak-anak. Di sisi lain pertanggungjawaban Dewan Juri SCA DKJ tersebut mendapat "perlawanan" dari para penulis bacaan anak, terutama mereka yang sudah lama bergabung dalam sebuah grup Facebook bernama Forum Penulis Bacaan Anak.Â
Mereka sudah menghasilkan puluhan, bahkan ratusan karya buku anak. Terbukti juga buku-buku mereka laris manis serta di antara mereka ada yang menyabet penghargaan nasional dan internasional. Artinya, klaim dari para juri itu tidak sepenuhnya benar dan betul.
Para juri adalah A.S. Laksana, Hamid Basyaib, dan Reda Gaudiamo. Dua orang yang disebut pertama adalah teman diskusi saya saat di Ikapi bersama-sama dengan Mas Hernowo (alm.). Saat berdiskusi di Ikapi, kami merencanakan menerbitkan buku tentang minat baca yang lain daripada yang lain.Â
Mas Sula (A.S. Laksana), sastrawan mumpuni, sudah menyiapkan konsepnya. Pak Hamid, orang yang sangat bersemangat ketika berbicara buku, kemudian saya ketahui menjadi salah seorang komisaris di perusahaan penerbitan plat merah satu-satunya, Balai Pustaka.
Adapun Mbak Reda Gaudiamo dikenal sebagai seniman dan juga berpengalaman di keredaksian berbagai media remaja. Bahkan, Mbak Reda juga sempat menulis buku anak berjudul Na Willa: Serial Catatan Kemarin.
Para penulis buku anak terutama meributkan paragraf pertama dari isi pertanggungjawaban juri. Saya kutipkan di sini sampai paragraf kedua.
Anak-anak penting bagi banyak orang, dan bagi banyak kepentingan, kecuali bagi para penulis. Para penulis bagus yang kita miliki, atau setidaknya nama-nama yang dikenal sebagai penulis bagus, hampir tidak ada yang menulis buku cerita anak-anak. Mereka merelakan penulisan buku anak-anak kepada orang-orang yang bukan penulis. Mereka mengikhlaskan anak-anak menjalani masa kanak-kanak mereka, yang disebut-sebut sebagai masa emas pertumbuhan, untuk menggeluti buku-buku yang rata-rata ditulis dengan kecakapan seadanya.
Karena ditinggalkan oleh para penulis terbaiknya, dunia penulisan buku anak-anak kita tidak mampu melahirkan tokoh-tokoh fiksi yang bisa melekat dalam ingatan untuk waktu yang panjang, seperti misalnya Peterpan, Pippi si Kaus Kaki Panjang, Alice (dalam Alice in Wonderland), Lima Sekawan, atau belakangan Harry Potter. Mungkin si Doel adalah satu-satunya tokoh anak-anak yang paling kita ingat, tetapi anak-anak sekarang barangkali tidak membacanya. Bahasa yang digunakan oleh Aman Datuk Madjoindo dalam buku Si Doel Anak Djakarta niscaya sudah terasa aneh bagi anak-anak sekarang. (Sumber: Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Jakarta)
Para penulis buku anak senior "meradang menerjang" karena paragraf pertama bagi mereka menggeneralisasi semua yang ikut sayembara adalah sama pun yang tidak ikut sayembara. Apalagi ada kalimat: Mereka merelakan penulisan buku anak-anak kepada orang-orang yang bukan penulis. Mereka mengikhlaskan anak-anak menjalani masa kanak-kanak mereka, yang disebut-sebut sebagai masa emas pertumbuhan, untuk menggeluti buku-buku yang rata-rata ditulis dengan kecakapan seadanya.