Kepada Jassin
Tapi jang boleh kita harapkan ialah
bahwa ia satu waktu akan sampai djuga
ke dunia tenang
Tiga baris petikan sajak di atas ditulis oleh Chairil Anwar sebagai sajak yang belum dipublikasikan dari coretan-coretan kertas warisannya.Â
Chairil meninggal dalam usia yang sangat muda, menjelang usia 27 tahun. Tubuhnya ringkih didera tiga penyakit, paru-paru, tifus, dan infeksi usus. Chairil mengembuskan napas terakhirnya pada Kamis, pukul 14.30, tanggal 28 April 1949 di Jakarta.Â
Kini 70 tahun telah berlalu sejak wafatnya Chairil Anwar yang dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai tokoh sentral Angkatan '45. Ia benar-benar hidup "seribu tahun" sebagaimana sekalimat sajak yang pernah dituliskannya. Sosok Chairil menjadi tetap hidup di benak orang Indonesia dengan sajak-sajaknya yang menembus zaman.
Sapardi Djoko Damono pernah menulis sebuah catatan akhir dari kumpulan puisi Aku ini Binatang Jalang (Gramedia). Buku ini diterbitkan lagi pada tahun 2019. Sapardi menuliskan begini: "Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau yang tidak cukup pantas  diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetap masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi."
Bahkan, Joko Pinurbo dalam buku Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api (Seri Buku Saku Tempo, diterbitkan KPG 2017) menyebutkan baginya Chairil Anwar, terutama dalam puisi "Tuti Artic" menunjukkan kepiawaian menulis dalam bahasa Indonesia dengan cita rasa masa kini, seakan-akan sajak tersebut baru diciptakan kemarin sore.Â
Berikut kutipan puisi atau sajak "Tuti Artic":