Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Ketika Editor Merombak Sebuah Tulisan

1 Juli 2019   07:31 Diperbarui: 1 Juli 2019   09:50 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu, tepatnya Jumat 27/6, saya berkesempatan melakukan asesmen sertifikasi kepada Mbak Rita Sri Hastuti di LSP Penulis dan Editor Profesional. Beliau adalah wartawan senior yang juga melakoni diri sebagai penulis buku dan editor buku. Asesmen sertifikasi yang diambilnya adalah Penyuntingan Substantif. 

Apa itu penyuntingan substantif? Penyuntingan substantif merupakan salah satu ranah dari ilmu editing. Jenis penyuntingan ini digolongkan sebagai penyuntingan berat karena merombak total sebuah tulisan berdasarkan kelayakan editorial. Dalam ranah penyuntingan substantif ini termasuk juga penyuntingan pengembangan (developmental editing), penyuntingan struktural (structural editing), dan penyuntingan menyeluruh (comprehensive editing).

Hanya editor senior dengan jam terbang yang tinggi diperkenankan melakukan penyuntingan substantif. Kecenderungan pada jenis penyuntingan ini adalah editor melakukan penulisan ulang, pengubahan struktur tulisan, bahkan pengubahan gaya penyajian tulisan. Kemampuan mengonversi karya tulis ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi menjadi buku ilmiah populer termasuk ke dalam wilayah penyuntingan substantif.

Ada beberapa alasan ketika penerbit atau editor memutuskan melakukan penyuntingan substantif pada sebuah naskah seperti berikut ini.

  1. Naskah terlalu banyak mengandung kesalahan berbahasa, seperti diksi, ejaan, dan tata bahasa (struktur kalimat dan paragraf).
  2. Gaya penyajian naskah tidak sesuai dengan pembaca sasaran yang dituju atau yang diminta oleh penerbit.
  3. Naskah terlalu banyak mengandung kesalahan data dan fakta serta tidak aktual.
  4. Struktur atau sistematika naskah sangat kacau sehingga menyulitkan pemahaman bagi pembaca.
  5. Ada bagian naskah yang harus dipotong/dikurangi atau sebaliknya ada bagian naskah yang harus ditambah.

Keputusan penyuntingan substantif juga lahir dari kondisi-kondisi tidak biasa. Misalnya, sebuah naskah "dipaksakan" harus terbit karena merupakan karya tokoh tertentu yang berpengaruh. Naskah tersebut sebenarnya tidak layak, namun pimpinan penerbit telah memutuskan naskah itu harus terbit. Karena itu, editor mutlak melakukan pekerjaan merombak total.

Sering juga kejadian penyuntingan substantif dilakukan pada sebuah naskah yang sudah dibeli putus (outright) sehingga penulis merasa tidak ada kepentingan lagi. Namun, ketika ditinjau lebih jauh, naskah belum layak diterbitkan karena ada beberapa kelemahan yang serius. Biasanya penerbit akan meminta editor melakukan penyuntingan substantif untuk merombak naskah tersebut.

Kompetensi Editor Substantif

Seorang editor substantif atau editor senior dituntut memiliki kompetensi dasar penyuntingan mekanis (mechanical editing) dan penulisan naskah tentunya. Perihal jam terbang yang tinggi atau rekam jejak yang meyakinkan berhubungan dengan pengalaman sang editor mengedit naskah-naskah dengan tingkat kesulitan tinggi, termasuk melakukan penulisan ulang (rewriting).

Editor substantif juga biasanya memiliki "indra keenam" atau intuisi yang tajam dalam melihat potensi sebuah naskah. Karena itu, mereka juga kerap dilibatkan pada proses akuisisi (pemerolehan) naskah.

Kompetensi nonteknis yang harus dimiliki seorang editor substantif adalah kemampuan berkomunikasi, terutama untuk mengomunikasikan perubahan kepada para penulis agar mereka tidak tersinggung atau merasa karyanya diacak-acak. Tentu diperlukan komunikasi yang "cair" dan saling menghargai.

Penyunting substantif dapat dipastikan juga adalah seorang penulis yang ulung. Bagaimana mungkin ia melakukan penulisan ulang jika ia sendiri tidak pernah menulis atau menghasilkan karya yang bermutu? Editor senior yang pernah berkiprah di Indonesia, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Pamusuk Eneste, Mula Harahap, dan Frans M. Parera tercatat sebagai para penulis ulung. 

Seorang lagi yang perlu saya sebutkan di sini dengan kemampuan penyuntingan substantif yang sangat baik adalah Hernowo. Tokoh perbukuan yang telah tiada ini merintis karier awal sebagai editor di Penerbit Mizan. Ia kemudian merupakan tokoh di balik lahirnya karya-karya hebat dari Mizan. 

Mas Her pernah berkisah bagaimana pada awalnya ia merombak total karya Quraish Shihab (Membumikan Al-Quran) karena menurutnya bermasalah dalam bahasa dan struktur. Namun, seiring waktu, karya Pak Quraish terus membaik dan tidak lagi memerlukan penyuntingan substantif.

Para penulis seyogianya memang berterima kasih kepada editor yang telah mengantarkan karyanya dapat dinikmati para pembaca dengan lebih baik. Dari media sosial saya pernah membaca bagaimana novelis Dewi Dee sangat senang jika novelnya ditangani editor bernama Hermawan Aksan. Sang editor, Hermawan Aksan, dikenal sebagai redaktur bahasa di sebuah koran dan aktif juga menulis serta melahirkan buku.

Novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway juga mendapatkan sentuhan penyuntingan substantif sebelum akhirnya novel ini memenangi penghargaan Pulitzer untuk kategori fiksi dan hadiah Nobel bidang sastra pada tahun 1954. Di balik karya-karya besar memang selalu ada para editor yang berperan meskin nama mereka tidak turut populer.

Bagaimana Membentuk Diri Menjadi Editor Substantif

Editor yang ingin meningkatkan kariernya ke level lebih tinggi menjadi editor substantif atau editor senior tidak pelak lagi harus sudah sangat menguasai kemampuan penyuntingan mekanis (mechanical editing). Penyuntingan mekanis berfokus pada keterbacaan (tipografi), kebahasaan, ketaatasasan (penerapan gaya selingkung), kepatuhan legalitas dan kepatutan, serta ketelitian data dan fakta. Jadi, memang tidak mudah mengasah ketajaman sebagai editor.

Editor substantif seperti yang saya sebutkan sebelumnya harus memiliki intuisi yang tajam untuk melihat banyak segi di dalam sebuah naskah. Cara menajamkan intuisi ini salah satunya sering mengunjungi toko buku atau pameran buku dan menelusuri buku satu per satu. Misalnya, meninjau rak buku best seller. Jika diperlukan, buku best seller dibeli untuk dibedah mengapa buku tersebut sangat laris. Faktor-faktor apa yang memberi kontribusi.

Cara lain adalah berinteraksi dengan penulis-penulis hebat, memahami jalan pemikiran mereka dan tentunya juga gaya penulisan mereka. Sekadar cerita dari Mbak Rita yang mengikuti asesmen penyuntingan substantif, ia sangat berhati-hati ketika menyunting karya Putu Wijaya. Ada wanti-wanti yang diberikan Putu sebelum naskahnya diedit. Terkadang karya itu tidak mengindahkan kaidah bahasa yang berlaku.

Saya juga melihat hal semacam ini pada karya-karya Remy Silado. Tak dapat kita mengeditnya berdasarkan PUEBI semata. Tokoh yang disebut munsyi ini juga pasti punya argumen mengapa ia menuliskan karyanya dengan menabrak aturan kebahasaan. Boleh jadi itu bagian dari gaya menulis (style) yang khas. Karena itu, elok juga seorang editor belajar ilmu stilistika.

Terakhir, calon editor substantif harus berani menangani pekerjaan naskah-naskah yang termasuk kategori berat, baik fiksi maupun nonfiksi. Jangan menolak pekerjaan naskah yang sulit karena hal itu tidak dapat membantu mengasah ketajaman Anda mengedit.

***

Ada beberapa editor yang enggan melakukan penyuntingan berat dengan anggapan mereka sudah berubah perannya menjadi penulis atau penulis pendamping. Sebenarnya, tidak demikian jika ia memahami bahwa ada wilayah yang disebut penyuntingan substantif. Memang hasil sunting itu tergolong sebagai karya dengan hak cipta baru. Namun, karena para editor digaji oleh penerbit maka karya sunting itu hak ciptanya dimiliki oleh penerbit.

Dalam beberapa kasus ketika sebuah buku dialihkan penerbitannya oleh penulis maka semestinya ia tidak diperkenankan menggunakan hasil sunting penerbit sebelumnya. Soal ini banyak yang belum mengerti karena dikira si penulis itu sudah satu paket hak ciptanya. Hak cipta penulis hanya terdapat pada naskah "mentah" yang belum diedit, sedangkan hak cipta hasil sunting ada di penerbit.

Saya cukupkan pembahasan tentang penyuntingan substantif di sini. Editing naskah atau editor memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Editing adalah seni bagaimana memoles naskah menjadi enak dibaca, memberi inspirasi, dan layak disampaikan secara turun-temurun sebagai sebuah ilmu, keterampilan, atau informasi yang maslahat. Semoga para editor di Indonesia turut didoakan oleh para pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun