Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menimbang Harga (Gagasan) Buku

20 Mei 2019   06:30 Diperbarui: 20 Mei 2019   12:52 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Anda hendak memutuskan membeli buku, apa yang menjadi pertimbangan utama Anda? Apakah nilai manfaat buku tersebut atau lebih pada harga bukunya? Atau Anda menimbang-nimbang antara nilai manfaat dan harga bukunya, apakah sebanding atau tidak? 

Ternyata, kerap sebuah buku tipis harganya melampaui nilai fisiknya (kertas, tinta, jilid, dan sebagainya). Namun, buku itu tetap laku karena nilai kemanfaatannya yang dirasakan para pembacanya sangat tinggi. Hal ini bukanlah anomali bahwa buku tipis harganya bikin kantong langsung kempis. 

Dalam beberapa tahun ini kita mengalami harga buku tak lagi "murah". Banyak buku telah menembus batas psikologi harga buku bagi kebanyakan orang Indonesia yaitu di atas Rp40.000,00. Bahkan, banyak buku juga telah menembus lebih dari angka Rp100.000,00 per eksemplarnya. 

Jika kacamata perkiraan harga sebuah buku disandarkan hanya pada fisiknya, komponen paling mahal dari sebuah buku adalah kertas. Adapun tinta, lem untuk jilid, dan ongkos cetak hanya sebagai "aksesori". 

Karena itu, harga buku yang bersandar pada fisik sangat bergantung pada fluktuasi harga kertas. Di beberapa negara, pemerintahnya membuat kebijakan memurahkan harga kertas untuk buku, apalagi buku pendidikan.

Faktor lain yang sebenarnya sangat berpengaruh pada perkiraan harga buku adalah gagasan si penulis/pengarang. Karena itu, jangan pernah menilai buku dari fisiknya belaka. 

Gagasan itu sering tidak ternilai harganya meskipun penulis/pengarang hanya mendapatkan imbalan berupa royalti yang kadang nilainya tidak lebih dari 10% dari harga jual buku. Semakin tinggi harga buku, semakin tinggi besaran rupiah yang diterima seorang penulis/pengarang, namun tidak untuk royaltinya.

Perihal royalti setahu saya besar persentase paling tinggi yang dapat diterima seorang penulis/pengarang adalah 12%. Ada juga penerbit yang memberlakukan royalti progresif yang bertambah 1% setiap kali buku cetak ulang hingga jumlah tertentu. 

Gairah kepenulisan sering kali dikaitkan dengan imbalan ini karena penulis/pengarang juga perlu "modal" untuk berkarya lagi dan lagi. Apabila penulis/pengarang menghadapi penerbit yang bermasalah dalam soal pembayaran royalti, besar kemungkinan penulis/pengarang itu kapok bekerja sama, bahkan mungkin patah arang.

Hal ini juga termasuk berlaku untuk pemerintah yang kerap membeli buku dari penerbit. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan harga buku yang hendak dibelinya (dahulu disebut HET atau harga eceran tertinggi) melalui APBN atau APBD. 

Namun, dalam beberapa kejadian, pemerintah kerap hanya menakar buku dari segi fisiknya, sedangkan gagasan sering luput dihitung. Padahal, semestinya pemerintah memperhitungkan nilai gagasan untuk menggairahkan usaha-usaha penulisan dan penerbitan buku.

Gagasan buku itu sejatinya bukan hanya gagasan penulis/pengarang, melainkan juga menyangkut gagasan penyajian yang dikerjakan oleh para editor, ilustrator, dan desainer buku. 

Perjalanan panjang sebuah buku untuk diterbitkan di bagian editorial merupakan peramuan gagasan yang semestinya juga dihargai jika memang menginginkan buku yang bermutu.  

Paradoks dari harga gagasan ini sering dibenturkan dengan harga buku murah. Perjuangan agar harga buku murah semestinya dimulai dari kebijakan pengadaan kertas, bukan dengan mengorbankan gagasan yang nyaris tidak dinilai. Mereka yang gila membaca tentu mendambakan harga buku yang terjangkau, namun bagi yang benar-benar gila, harga buku sering tidak menjadi soal.

Ada lagi paradoks lain bahwa masyarakat kita dapat menerima harga kuota internet atau pulsa dan membelinya terus-menerus. Namun, ketika bersua dengan harga buku, langsung dicap mahal meskipun buku tidak akan habis dibaca berkali-kali, bahkan dapat diwariskan. 

Kalau hal ini, benar-benar anomali di negeri yang rendah literasi. Belum lagi orang-orang yang selalu menginginkan buku gratis dari penulis/pengarang kenalannya. Mungkin mereka kira menulis dan menerbitkan buku sama dengan membuat kue lebaran.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun