Salah satu event perbukuan internasional yang sangat penting, London Book Fair 2019, baru saja berakhir. Kegiatan ini menorehkan makna penting bagi Indonesia karena menjadi Market Focus country---hampir mirip ketika Indonesia menjadi Guest of Honour di Frankfurt Book Fair 2015 Â meskipun LBF dengan skala lebih kecil. Pada tahun 2018, yang menjadi Market Focus adalah negara-negara Baltik, yaitu Estonia, Latvia, dan Lituania (pecahan Uni Soviet).
"Penuh semangat, beragam, menarik, dan bergerak cepat, kami beruntung memiliki kesempatan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Indonesia---negaranya, orang-orangnya, dan penerbitannya. Saya tahu mereka akan menjadi mitra Market Focus yang hebat tahun depan dan berharap untuk menempatkan Indonesia di garis depan kegiatan LBF selama beberapa tahun ke depan. " Demikian kesan Jacks Thomas, Direktur The London Book Fair ketika menyambut Indonesia sebagai Market Focus country 2019.
Menempati area pameran seluas 600 meter persegi, kehadiran Indonesia yang dimotori oleh Bekraf dan Komite Buku Nasional (Kemendikbud) ini menyediakan 10 booth untuk pelaku industri kreatif dan 20 booth untuk perusahaan atau penerbit nasional sebagai co-exhibitor.
Bagaimana hasil LBF 2019 yang merupakan ajang transaksi copyright ini? Sebanyak 23 judul buku Indonesia berhasil dijual hak cipta terjemahannya. Pembelinya adalah penerbit dari Singapura, Inggris, Portugal, dan Malaysia.Â
Sebanyak 12 judul buku tentang pemelajaran bahasa Mandarin dari Penerbit Asta Ilmu diborong oleh Penerbit Singapura. Mizan berhasil menjual 8 judul bukunya ke penerbit Inggris dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) berhasil menjual 1 judul buku ke penerbit Portugal. Terakhir, penjualan hak cipta terjemahan dibukukan oleh Sapasar (agensi hak cipta terjemahan yang didirikan oleh Ikapi Jabar) sebanyak 2 judul untuk penerbit Malaysia.
Di luar itu dikabarkan bahwa ada 408 judul buku Indonesia yang potensial diminati penerbit luar negeri. Beberapa penerbit dari 12 negara meminta file PDF dari judul-judul buku tersebut---yang menandakan ketertarikan mereka untuk mempelajari lebih lanjut. Perkiraan saya ratusan judul yang diminati ini belum tereksekusi menjadi penjualan karena belum sepenuhnya tersedia dalam bahasa Inggris.Â
Memang dari sisi kuantitas hak cipta terjemahan yang terjual tampaknya masih relatif kecil, apalagi 14 judul justru terjual untuk penerbit di wilayah ASEAN (Singapura dan Malaysia)---dengan asumsi mengapa harus jauh-jauh ke London? Artinya, memang perlu evaluasi kesiapan Indonesia untuk berpameran di luar negeri dan meningkatkan kapasitas para penerbit atau literary agent di Indonesia dalam memasuki pasar hak cipta internasional.
Olga Tokarczuk, penulis kenamaan Polandia, menyebutkan bahwa dunia penerbitan di Inggris relatif tertutup untuk karya terjemahan sehingga hanya sejumlah kecil penerbitan dari bahasa asing yang dapat masuk. Polandia sendiri menjadi Market Focus country pada LBF 2017. Dalam hal ini menjadi penting program hibah penerjemahan yang dilakukan beberapa negara untuk menarik minat penerbit asing menerjemahkan buku-buku dari suatu negara.
Sayang saya belum menemukan data jumlah hak cipta yang terjual dari Polandia atau negara Baltik yang menjadi Market Focus 2017 dan 2018 sebagai perbandingan untuk Indonesia. Penerbit Indonesia memang relatif baru melangkah pada penjualan hak cipta terjemahan ke negara lain, bahkan mungkin hanya sedikit penerbit yang mengalami lebih dari satu permintaan untuk buku judul yang sama dan dari negara yang sama sehingga pertimbangannya adalah pembeli yang menawar paling tinggi.
Cerita di Balik Hak Cipta Terjemahan
Penerbit Indonesia yang kali pertama mendapatkan hak terjemahan dalam bahasa Indonesia karya J.K. Rowling adalah Gramedia. Gramedia sukses menangguk untung juga dari penerbitan mega-best seller Harry Potter. Â
Saat Rowling mengeluarkan sebuah novel dewasa berjudul The Casual Vacancy, Penerbit Mizan berhasil mendapatkan hak terjemahannya setelah bersaing dengan penerbit Indonesia lainnya. Mengapa Mizan sukses mendapatkannya?
Ternyata karena Rowling terkesan dengan program KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) yang dirintis Mizan. Jadi, Rowling yang memiliki kuasa menentukan penerbit asing yang menerbitkan karyanya lebih memilih Mizan bukan karena pertimbangan nilai transaksi.
Ya, banyak kisah yang melatari perebutan hak cipta terjemahan buku-buku best seller dunia di Indonesia. Indonesia selama ini memang menjadi pasar bagi hak cipta terjemahan. Tentu yang lebih potensial mengakuisisi buku-buku asing untuk diterjemahkan adalah penerbit bermodal besar.Â
Paling tidak diperlukan US$1.000 untuk membayar uang muka (advance fee) royalti buku terjemahan, bahkan ada yang sampai puluhan ribu dolar.
Lebih mundur ke belakang, Penerbit Serambi berhasil mendapatkan keuntungan dari akuisisi hak cipta terjemahan novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Serambi memperoleh hak cipta terjemahan buku laris ini selain karena ketangkasan editornya, juga karena keberuntungan.Â
Mengapa? Penerbit Gramedia yang sudah berancang-ancang menerbitkan, akhirnya mundur karena pertimbangan kontroversial agama yang termuat di novel tersebut. Padahal, mereka berani membayar lebih mahal untuk uang muka dibandingkan Serambi.
Suatu kisah menarik terjadi ketika saya masih memimpin Penerbit MQS (MQ Corporation). Waktu itu, Aa Gym meminta saya untuk mengakuisisi hak cipta terjemahan buku berjudul The True Power of Water karya Masaru Emoto. Hanya perlu waktu sekira dua bulan bagi tim MQS mengakuisisinya dari Penerbit Beyond Book di Amerika. Buku ini meledak di pasar Indonesia.
Ternyata terbitan pertama buku ini sudah lebih dulu diterbitkan oleh Penerbit Gramedia yang berjudul The Hidden Message of Water. Buku pertama ini tidaklah sefenomenal buku The True Power of Water. Entah mengapa waktu itu Gramedia tidak mengakuisisi judul yang lainnya, mungkin karena judul pertama tidak sukses. Faktor endorsement dari Aa Gym kala itu memang mendorong lakunya buku tentang keajaiban air tersebut.
Sampai saat ini penerbit-penerbit Indonesia masih memburu buku-buku asing yang diharapkan menuai sukses. Penerbit Qanita (lini Mizan) mencoba peruntungan dengan menerbitkan novel Ghost Fleet yang sempat heboh di Indonesia karena pada novel itu disebutkan Indonesia bubar pada tahun 2030. Isunya sendiri sebenarnya sudah mereda setelah disampaikan Prabowo dan mendapatkan juga banyak respons, sedangkan novelnya baru terbit beberapa bulan kemudian.
Buku terjemahan yang masih bertengger di rak best seller adalah karya Mark Manson berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (The Subtle Art of Not Giving a F*ck). Beruntung Gramedia mendapatkan hak cipta terjemahan buku yang masuk daftar The New York Time Best Seller ini. Buku tersebut saya lihat juga banyak dibincangkan orang di media sosial.Â
Ada lagi buku serius karya penulis keturunan Yahudi, Yuval Noah Harari, berjudul Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia terbitan KPG yang juga mendulang sukses. Buku serius, tetapi laku yang semacam ini mematahkan asumsi orang Indonesia tidak suka membaca buku-buku "berat".
Tidak dimungkiri bahwa buku-buku terjemahan juga menggairahkan industri penerbitan buku di Indonesia. Karena itu, kunjungan para penerbit Indonesia ke event perbukuan internasional salah satunya adalah berburu hak cipta terjemahan buku-buku yang bagus serta menarik untuk pasar Indonesia. Ada yang berhasil menerbitkan buku terjemahan, lalu laku keras. Namun, tidak sedikit pula yang gatot alias gagal total.
Insting atau ketajaman naluri memilih judul buku yang diminati dan dibutuhkan masyarakat Indonesia tidak pelak lagi juga perlu dimiliki para editor akuisisi yang ditugaskan berburu copyright. Memang untuk hal ini diperlukan wawasan tentang tren dan kecenderungan penjualan buku di Indonesia.Â
Dengan maraknya penjulaan buku-buku impor langsung di Indonesia seperti Big Bad Wolf, boleh jadi buku-buku terjemahan pada masa mendatang tak lagi menarik. Generasi yang sudah mahir berbahasa Inggris akan lebih menikmati langsung buku-buku itu daripada membaca terjemahannya yang mungkin banyak bermasalah.
***
Apakah industri perbukuan di Indonesia masih menjanjikan? Dalam pandangan saya untuk negara sebesar Indonesia dengan segala potensinya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam dan budaya, buku akan tetap diperlukan dan diperhitungkan sebagai media informasi yang ampuh. Pasar internasional untuk buku-buku karya penulis Indonesia juga masih menjanjikan jika memang ditekuni secara intens.
Indonesia dapat mencontoh negara jiran Malaysia yang mendirikan beberapa lembaga perbukuan di bawah naungan pemerintah dan dijalankan orang-orang profesional di bidangnya. Negara lain seperti Singapura dan Thailand juga dapat dicontoh bagaimana mereka mendesain program perbukuannya dengan misi menjadi pusat buku paling tidak di ASEAN.
Jadi, langkah menjual copyright dan masuk dalam bursa transaksi hak cipta terjemahan merupakan langkah strategis untuk mengimbangi juga kebiasaan kita menerjemahkan karya-karya asing ke dalam bahasa Indonesia. Jika selama ini kita memperebutkan hak cipta terjemahan buku-buku best seller kelas dunia, mudah-mudahan ada masanya hak cipta terjemahan kita juga diperebutkan di satu negara.
Hanya ada satu lisensi terjemahan untuk satu penerbit di satu negara. Ukuran kehebatan sebuah buku secara internasional adalah manakala buku itu diterbitkan di sejumlah negara dengan sejumlah bahasa. Kita menunggu kejutan-kejutan buku Indonesia selanjutnya di dunia internasional.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H