Minggu ini pameran buku kelas dunia, London Book Fair, menjadi sangat istimewa bagi Indonesia. Melalui sokongan Bekraf, Indonesia menjadi Market Focus di LBF 2019.
Artinya, Indonesia dengan segala kekuatan perbukuannya bakal menjadi pusat perhatian dunia dalam hal unjuk kekayaan literasi dan penjualan copyright. Buku-buku potensial berikut penulis-penulis potensial Indonesia diperkenalkan ke panggung dunia. LBF selain sebagai ajang penjualan copyright dapat juga dimanfaatkan sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan.
Pertanyaannya, apakah Indonesia saat ini memang cukup kuat dalam soal produk literasi yang dapat ditawarkan ke penerbit-penerbit mancanegara?
Adalah tulisan dari Pamella Allen, seorang akademisi yang banyak mengkaji sastra Indonesia, yang dimuat di nationalcentreforwriting.org.uk menjadi polemik. Pam menggugat penulis Indonesia dengan judul artikelnya "Where Are all the Indonesian Writers?" Dalam bahasa gaulnya, ia bertanya: "Eh, elu penulis Indonesia ke mana aja?"
Namun, artikel itu tampaknya sudah diganti judulnya menjadi "The Modern Library of Indonesia: Home of the 'Classics'?"---mungkin dianggap sensitif.
Pam mempertanyakan mengapa Indonesia begitu lama memperkenalkan kekuatan (buku-buku) literasinya kepada dunia---setelah sekian lama merdeka. Ia memaparkan beberapa asumsi.
Sastrawan Eka Kurniawan menyampaikan beberapa sanggahannya terhadap opini Pam melalui linimasa FB. Salah satu yang ditanggapi Eka soal asumsi Pam bahwa sastra Indonesia modern yang dimulai pada awal abad ke-20 lebih dominan melibatkan para penulis yang berusaha mendefinisikan identitas keindonesiaan. Alhasil, sastra Indonesia kebanyakan menjadi produk untuk membangun jiwa kebangsaan, bukan produk yang "layak" dikonsumsi sekaligus menghibur.
Eka mempermasalahkan bahwa pada masa dulu pengamat/kritikus (dalam maupun luar) sastra Indonesia terlalu banyak memperhatikan karya-karya yang berpretensi "menemukan identitas keindonesiaan" atau "membangun jiwa kebangsaan".Â
Karya-karya pop dan menghibur sering kali terabaikan, padahal ada dan banyak. Eka menggugat: Pernahkah kita melihat sejarah sastra dari perspektif genre?---bukan berdasarkan angkatan-angkatan yang kental dengan nuansa politik dan identitas kebangsaan?
Ada satu karya nonfiksi kajian perbukuan Indonesia yang menarik bagi saya. Karya itu berjudul Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan yang ditulis Koko Hendri Lubis. Di dalam buku ini tampak sekali para penulis Indonesia yang menulis genre hiburan telah eksis dan mendunia pada awal abad ke-20. Bahkan, Hamka, juga tercatat awalnya sebagai penulis roman Medan.