Sembari menulis handout "Swasunting", saya membaca ulang karya Pak Wahyu Wibowo bertajuk Menjadi Penulis dan Penyunting Sukses. Buku ini keren karena penulisnya juga keren. Pak Wahyu Wibowo seorang penulis senior berlatar belakang ilmu yang kaya. Pendidikan sarjananya di Ilmu Sastra UI, S-2 di Manajemen, dan S-3 di Filsafat. Beliau pernah berkarier sebagai wartawan sekaligus menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi.
Belakangan Pak Wahyu Wibowo lebih dikenal sebagai pakar dan praktisi di bidang penulisan karya tulis ilmiah (KTI). Beliau menjadi salah seorang penilai untuk program hibah/insentif buku pendidikan tinggi yang diadakan Kemristekdikti.Â
Saya senang membaca karya-karya Pak Wahyu yang puluhan jumlahnya, terutama tentang penulisan. Muatannya berat, tetapi disampaikan dengan gaya yang lincah. Dari buku tentang penulis dan penyunting yang saya baca tersebut, langsung pembaca disuguhi hakikat keindahan dalam karya tulis. Beliau membukanya dengan kisah Ken Dedes dan Ken Angrok yang dinukil dari kitab Pararaton.Â
Sejatinya tulisan itu adalah karya seni yang mengandung keindahan sehingga memikat untuk dibaca seperti halnya Pararaton---terlepas dari klaim itu hanya mitos belaka, bukan kisah sebenarnya. Di balik keindahan itu ada unsur-unsur kerumitan yang membangun sebuah narasi menjadi apik dan menarik untuk dibaca, bahkan dipercayai.
Pak Wahyu meramu pandangan DeWitt H. Parker, seorang profesor di bidang filsafat, dan Monroe Beardsley, seorang filsuf di bidang seni. Dalam konteks sesuatu yang indah maka terdapat unsur-unsur yang saling mendukung. Sesuatu dikatakan indah apabila keanekaragaman unsur-unsur terlihat saling menopang menjadi satu kesatuan yang utuh.Â
Terkait tulis-menulis, menurut Pak Wahyu, prinsip indah sejajar dengan berpikir jernih yakni menimbang segala sesuatunya secara objektif, matang, dan logis. Dengan berpikir jernih, seorang penulis mampu menjaga kesatuan dan keutuhan keanekaragaman pikiran yang muncul dari dalam tulisan. Dengan demikian, tulisan akan terkesan wajar, rapi, dan elegan.
Saya ingin menghubungkannya dengan konsep saya tentang tulisan yang baik. Saya menyebut tiga daya yang menunjukkan sebuah tulisan itu dikategorikan baik. Pertama, adanya daya gugah yakni kemampuan tulisan menarik orang untuk membaca sampai tuntas.Â
Kedua, adanya daya ubah yakni kemampuan tulisan menggerakkan orang berubah ke arah yang lebih baik (dari tahu menjadi mengerti; dari mengerti menjadi memahami; dari memahami menjadi melakukan). Ketiga, daya pikat yakni kemampuan tulisan memberi pengalaman-pengalaman indah atau impresi bagi pembacanya sekaligus meninggalkan kesan yang menyenangkan.Â
Bandingkan dengan prinsip Pak Wahyu yang menyebutkan bahwa tulisan indah itu harus 1) mengandung kesatuan dan keutuhan; 2) mengandung satu pikiran utama yang jelas; 3) mengandung prinsip perkembangan.Â
Tulisan yang indah itu mewujud dalam satu yang utuh. Tulisan yang indah itu menonjolkan satu pikiran utama yang jelas meskipun ada banyak unsur yang dicuatkan. Perhatikan di dalam lukisan itu ada objek, warna, media, format, dan makna.Â
Setiap orang dapat memilih fokus pada hal yang menonjol itu sebagai titik landas memahami lukisan. Demikian pula tulisan, ada topik, bahasa, gambar, bentuk tulisan, maksud, dan makna. Tulisan yang indah juga disebut mengandung prinsip perkembangan karena dijalin dari berbagai unsur yang mengungkap pertalian sebab-akibat.
Jadi, tulisan yang indah sebenarnya dibangun dari kerumitan-kerumitan, seperti diksi, ejaan, bangun kalimat, dan bangun paragraf yang digunakan untuk mengemas pikiran serta perasaan penulis. Itu mengapa tulisan orang dewasa yang telah mengalami pendewasaan berpikir dan juga pendidikan, tentu berbeda dengan tulisan seorang anak-anak yang baru belajar menulis. Tulisan anak-anak dibangun dari unsur sederhana, sama dengan cara mereka melukis sebuah pemandangan: gunung, awan, matahari, rumah, dan jalan ditampilkan secara sederhana.Â
Bagaimana jika seorang penulis mengabaikan kerumitan atau menyederhanakan persoalan tulis-menulis tersebut? Wujudnya adalah tulisan yang asal jadi atau tidak memberikan efek apa pun bagi pembaca. Itulah yang semakin banyak kita baca dan kita konsumsi pada era media sosial kini. Tulisan-tulisan seperti itu menumpulkan daya estetis kita untuk mengapresiasi sebuah karya.
Tulisan yang bagus atau indah betapa pun sederhananya ketika dibaca dan dipahami, itu adalah hasil pengemasan kerumitan-kerumitan yang canggih dari penulisnya. Alhasil, seni menulis adalah mampu menyajikan sesuatu yang rumit menjadi mudah dipahami. Adapun kerumitan-kerumitan itu memang harus digumuli oleh sang penulis, seperti teori, konsep, data, fakta, dan diksi (pilihan kata). Penulis yang tidak menyukai pergumulan kerumitan akan cenderung membahas sesuatu yang hanya kulit luarnya, tidak mendetail dan tidak bernas.Â
Istilah "daging" di dalam materi atau konten dalam bahasa populer kini mengacu pada kerumitan-kerumitan yang ditata oleh penulisnya menjadi sebuah "hidangan" yang bukan hanya sedap dipandang mata, melainkan juga enak disantap. Pengemasan kerumitan ini memang memerlukan pelatihan dan jam terbang untuk mengasahnya.Â
Contoh karya-karya hebat yang dikemas dari kerumitan ditunjukkan oleh para penulis, seperti Mahbub Djunaidi, Umar Kayam, Emha Ainun Nadjib, Jalaluddin Rakhmat, Mohamad Sobary, Goenawan Mohamad, Radhar Panca Dahana, Bondan Winarno, Ignas Kleden, Gde Prama, dan Rhenald Kasali. Jika menelusuri ketekunan mereka menulis, kita pun akan takjub bagaimana mereka mampu meramu pengalaman, pikiran, perasaan, serta bahan bacaan menjadi begitu menarik.
Saya juga sempat belajar mengemas kerumitan ini dari sosok Bang Semch (N. Syamsuddin Ch. Haesy), penulis senior jebolan pendidikan Filsafat di Prancis, yang sudah malang melintang dalam jagat pers dan penulisan di Indonesia.Â
Tulisan beliau selalu dibangun dari diksi yang tidak biasa dan menggoreskan makna mendalam. Demikian pula tulisan Rocky Gerung yang kini menjadi selebritas dalam perdebatan-perdebatan politik. Tulisan Rocky Gerung juga ditata dari kerumitan-kerumitan data, fakta, dan diksi sehingga ketika dibaca begitu terasa lekuk-lekuknya.
Banyak yang menulis kini ingin bebas dari kerumitan-kerumitan itu. Ingin tinggal copy paste saja atau mengutip sekenanya tanpa mau berpayah-payah menguji kebenaran opininya. Ada juga yang begitu malasnya membuka referensi, tetapi lebih mengandalkan "rasa-rasanya" atau "mudah-mudahan" benar. Alih-alih menampilkan estetika dalam menulis, mereka justru beretorika dengan bahan "tong kosong nyaring bunyinya" sehingga kerap memburaikan kemarahan, caci maki, dan sindiran-sindiran tak elegan.
Semakin saya banyak membaca, semakin saya insaf akan kerumitan-kerumitan yang perlu dijalani untuk menghasilkan adikarya. Buku-buku dari penulis luar umumnya dibangun dari kerumitan-kerumitan riset yang mereka lakukan. Mereka tidak asal tulis, tetapi mendalami apa yang hendak dituliskan dan dibagikan ke publik. Kita di sini hanya tingal mengutip, namun kadang tinggal mengutip pun kita masih saja keliru. Mengapa? Karena di antara kita enggan membaca secara analitis dan saksama untuk menemukan lekuk-lekuk keindahan sebuah karya.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H