Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Estetika Tulisan dan Kerumitannya

19 Januari 2019   10:14 Diperbarui: 20 Januari 2019   11:33 1784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Luca Laurance on Unsplash

Setiap orang dapat memilih fokus pada hal yang menonjol itu sebagai titik landas memahami lukisan. Demikian pula tulisan, ada topik, bahasa, gambar, bentuk tulisan, maksud, dan makna. Tulisan yang indah juga disebut mengandung prinsip perkembangan karena dijalin dari berbagai unsur yang mengungkap pertalian sebab-akibat.

Jadi, tulisan yang indah sebenarnya dibangun dari kerumitan-kerumitan, seperti diksi, ejaan, bangun kalimat, dan bangun paragraf yang digunakan untuk mengemas pikiran serta perasaan penulis. Itu mengapa tulisan orang dewasa yang telah mengalami pendewasaan berpikir dan juga pendidikan, tentu berbeda dengan tulisan seorang anak-anak yang baru belajar menulis. Tulisan anak-anak dibangun dari unsur sederhana, sama dengan cara mereka melukis sebuah pemandangan: gunung, awan, matahari, rumah, dan jalan ditampilkan secara sederhana. 

Bagaimana jika seorang penulis mengabaikan kerumitan atau menyederhanakan persoalan tulis-menulis tersebut? Wujudnya adalah tulisan yang asal jadi atau tidak memberikan efek apa pun bagi pembaca. Itulah yang semakin banyak kita baca dan kita konsumsi pada era media sosial kini. Tulisan-tulisan seperti itu menumpulkan daya estetis kita untuk mengapresiasi sebuah karya.

Tulisan yang bagus atau indah betapa pun sederhananya ketika dibaca dan dipahami, itu adalah hasil pengemasan kerumitan-kerumitan yang canggih dari penulisnya. Alhasil, seni menulis adalah mampu menyajikan sesuatu yang rumit menjadi mudah dipahami. Adapun kerumitan-kerumitan itu memang harus digumuli oleh sang penulis, seperti teori, konsep, data, fakta, dan diksi (pilihan kata). Penulis yang tidak menyukai pergumulan kerumitan akan cenderung membahas sesuatu yang hanya kulit luarnya, tidak mendetail dan tidak bernas. 

Istilah "daging" di dalam materi atau konten dalam bahasa populer kini mengacu pada kerumitan-kerumitan yang ditata oleh penulisnya menjadi sebuah "hidangan" yang bukan hanya sedap dipandang mata, melainkan juga enak disantap. Pengemasan kerumitan ini memang memerlukan pelatihan dan jam terbang untuk mengasahnya. 

Contoh karya-karya hebat yang dikemas dari kerumitan ditunjukkan oleh para penulis, seperti Mahbub Djunaidi, Umar Kayam, Emha Ainun Nadjib, Jalaluddin Rakhmat, Mohamad Sobary, Goenawan Mohamad, Radhar Panca Dahana, Bondan Winarno, Ignas Kleden, Gde Prama, dan Rhenald Kasali. Jika menelusuri ketekunan mereka menulis, kita pun akan takjub bagaimana mereka mampu meramu pengalaman, pikiran, perasaan, serta bahan bacaan menjadi begitu menarik.

Saya juga sempat belajar mengemas kerumitan ini dari sosok Bang Semch (N. Syamsuddin Ch. Haesy), penulis senior jebolan pendidikan Filsafat di Prancis, yang sudah malang melintang dalam jagat pers dan penulisan di Indonesia. 

Tulisan beliau selalu dibangun dari diksi yang tidak biasa dan menggoreskan makna mendalam. Demikian pula tulisan Rocky Gerung yang kini menjadi selebritas dalam perdebatan-perdebatan politik. Tulisan Rocky Gerung juga ditata dari kerumitan-kerumitan data, fakta, dan diksi sehingga ketika dibaca begitu terasa lekuk-lekuknya.

Banyak yang menulis kini ingin bebas dari kerumitan-kerumitan itu. Ingin tinggal copy paste saja atau mengutip sekenanya tanpa mau berpayah-payah menguji kebenaran opininya. Ada juga yang begitu malasnya membuka referensi, tetapi lebih mengandalkan "rasa-rasanya" atau "mudah-mudahan" benar. Alih-alih menampilkan estetika dalam menulis, mereka justru beretorika dengan bahan "tong kosong nyaring bunyinya" sehingga kerap memburaikan kemarahan, caci maki, dan sindiran-sindiran tak elegan.

Semakin saya banyak membaca, semakin saya insaf akan kerumitan-kerumitan yang perlu dijalani untuk menghasilkan adikarya. Buku-buku dari penulis luar umumnya dibangun dari kerumitan-kerumitan riset yang mereka lakukan. Mereka tidak asal tulis, tetapi mendalami apa yang hendak dituliskan dan dibagikan ke publik. Kita di sini hanya tingal mengutip, namun kadang tinggal mengutip pun kita masih saja keliru. Mengapa? Karena di antara kita enggan membaca secara analitis dan saksama untuk menemukan lekuk-lekuk keindahan sebuah karya.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun