Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Beginilah Kolaborasi dalam Jagat Penulisan

11 September 2018   07:18 Diperbarui: 11 September 2018   09:59 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Rawpixel on Unsplash

Seorang penulis mengontak saya. Ia dihubungi oleh  temannya yang mengetahui bahwa ia seorang penulis dan pernah menjuarai  beberapa lomba. Sang teman mengatakan bahwa ia memiliki sebuah ide untuk  penulisan novel. Singkat cerita si penulis ditawari untuk mewujudkan  idenya itu ke dalam novel. Namun, sebelum novel dikerjakan, teman si  penulis itu bertanya: "Berapa royalti yang akan dibayarkan kepada saya?"

Tentu saja ini aneh dalam jagat penulisan. Dia yang meminta tolong kok malah dia yang meminta bayaran. Alhasil, dimaklumi saja bahwa ini bagian  dari ketidakpahaman seseorang tentang ide dan karya. Ide sehebat apa pun  selama belum berwujud menjadi karya tidaklah ada gunanya. Bahkan, ide  yang tidak berwujud tidaklah dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.

Memang  ada kasus-kasus khusus seperti selebritas atau tokoh yang diketahui  memiliki sejarah hidup menarik. Para penerbit akan memburu sosok itu  untuk dibukukan dan bahkan berani membayar di muka untuk  aubobiografinya. Jadi, ini kekecualian. Adapun teman si penulis tadi  bukanlah seorang figur publik yang memiliki kisah hidup dramatis sehingga memiliki nilai jual.

Dalam  jagat penulisan, kolaborasi itu biasa antara pemilik gagasan dan  penulis profesional (literator). Para penulis diposisikan sebagai  pemberi jasa sekaligus konsultan. Untuk hal ini mereka akan menerima  upah atau imbalan yang dapat dibayarkan dengan beberapa cara. Ada jasa  yang dibayar langsung per proyek, ada pula yang dibayar per halaman  hasil karya, dan yang terakhir jarang terjadi di Indonesia adalah  dibayar per jam.

Kolaborasi dalam dunia penulisan terjadi ketika seorang pemilik gagasan yang diistilahkan author dalam bahasa Inggris memiliki keterbatasan dalam soal menulis.  Misalnya, ia tidak terlalu piawai menggunakan bahasa populer atau ia  memang tidak memiliki waktu. Maka dari itu, ada tiga pilihan bagi sang author untuk melakukan kolaborasi dengan orang lain.

Pertama, seorang author dapat menggunakan jasa ghostwriter (penulis bayangan) jika sang author tetap ingin namanya yang dikreditkan (dicantumkan) di dalam buku,  apakah itu di kover buku atau di halaman keterangan penerbitan (imprint) buku. Penulis bayangan akan mendapatkan upah atau imbalan atas kerja tersebut yaitu menuangkan gagasan si author ke dalam berbagai bentuk buku, termasuk novel. 

Penggunaan jasa ghostwriter dalam penulisan novel memang tidak lazim, tetapi dapat saja dilakukan ketika seorang author telah memiliki ide cerita yang utuh dari segi tokoh, latar/setting, dan alur/plot.

Kedua, seorang author dapat menggunakan jasa co-author. Kedudukan co-author bukan hanya membantu menuangkan gagasan ke dalam tulisan, melainkan juga turut membantu mengembangkan ide sang author. Jadi, kolaborasi bersifat menyeluruh. Hanya ide utama tetap berasal dari sang author. 

Novel Ghost Fleet yang sempat heboh di Indonesia adalah hasil kolaborasi semacam ini. P.W. Singer sebagai author tidak memiliki pengalaman dalam menulis novel. Ia menggandeng August  Cole yang biasa menulis skenario film-film perang masa depan untuk  membantunya. Jadilah kolaborasi keduanya menghasilkan novel yang  mengimajinasikan Indonesia bubar pada 2030.

C0-author namanya bersama author dikreditkan atau muncul di dalam kover buku dan halaman imprint penerbitan. Keduanya sama-sama diakui sebagai pencipta dengan kedudukan author yang namanya disebut pertama sebagai pencipta utama. Di Indonesia lakon sebagai co-author dijalani  oleh Alberthiene Endah yang banyak menuliskan autobiografi pesohor di  Indonesia, termasuk kisah sukses perusahaan-perusahaan besar. 

Nama  Alberthiene Endah selalu dikreditkan di kover buku tanda ia adalah  seorang co-author dari buku-buku yang ditulisnya yang juga turut membantu mengembangkan ide penulisan, termasuk menyiapkan kerangka (outline) tulisan.  

Novelis produktif seperti Tere Liye juga pernah mengumumkan ia sedang mencari seorang co-author untuk membantu penulisan novelnya. Dengan sebutan ini, Tere Liye  berharap seseorang membantunya mengembangkan ide utama novel yang  berasal darinya. Melihat tipikal novel Tere Liye yang dibuat dari satu  tema besar seolah-olah serial, seperti Bumi, Bulan, Matahari, Bintang, penggunaan co-author sangat relevan.

Ketiga, ada satu lagi jenis kolaborasi penulisan yaitu seorang author menggunakan jasa co-writer. Berbeda dengan c0-author, co-writer membantu sebatas menuliskan ide dari author. 

Artinya, yang sangat dimanfaatkan betul dari co-writer adalah kepiawaiannya memilih dan menyusun kata-kata. Co-writer sama sekali tidak terlibat dalam pengembangan ide atau gagasan sebuah buku. Seperti halnya co-author, nama co-writer juga turut dimunculkandi dalam buku.

Teman  saya yang juga salah seorang pengurus Penpro (Perkumpulan Penulis  Profesional Indonesia), Dodi Mawardi, melakoni kerja sebagai co-writer meskipun saya rasa beliau juga kerap menjadi co-author. Ini salah satu contoh karyanya yang diterbitkan Elexmedia Komputindo.

Foto: Elexmedia
Foto: Elexmedia
Kolaborasi penulisan sangat dilarang untuk karya-karya kesarjanaan yaitu skripsi, tesis, dan disertasi. Beberapa orang menyangka bahwa pekerjaan ghostwriter termasuk membuat skripsi-tesis-disertasi. Itu bukanlah ghostwriter, melainkan penulis calo. 

Para penulis calo juga kerap menawarkan jasa lain seperti menulis artikel ilmiah untuk jurnal atau menuliskan laporan PTK (penelitian tindakan kelas) bagi guru-guru yang kebelet harus sertifikasi dan naik pangkat. Memang ini celah pekerjaan menulis yang menggiurkan bagi oknum tertentu.

Bagaimana pengalaman saya? Saya melakoni diri sebagai penulis jasa sudah sangat lama kira-kira awal tahun 2000-an, baik sebagai ghostwriter, co-writer, atau co-author. 

Pengalaman pertama saya adalah menuliskan memoar salah seorang direktur RS Cipto Mangunkusumo sebagai ghostwriter, tetapi nama saya tetap dimuat sebagai editor. Sewaktu menjadi direktur di MQS Publishing (MQ Corp) rentang 2003-2008, saya banyak menuliskan ide-ide Aa Gym ke dalam buku. 

Selain bekerja untuk perseorangan, saya juga beberapa kali membantu instansi/lembaga, baik pemerintah maupun swasta untuk menuliskan buku. Terakhir, saya mengerjakan buku sejarah perbukuan nasional untuk Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan) Kemdikbud. Tentu saja ada suka dan duka dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. 

Beberapa karya saya sebagai penulis jasa (Foto: Bambang Trim)
Beberapa karya saya sebagai penulis jasa (Foto: Bambang Trim)
Kolaborasi yang terjadi di dalam dunia penulisan menempatkan seorang penulis benar-benar menjadi writerpreneur. Seorang writerpreneur tidaklah menggantungkan diri dari penulisan ke media, apakah itu penerbit buku atau penerbit media massa. 

Penulis yang hanya berkarya mandiri, lalu mengirimkan ke penerbit saya sebut sebagai penulis tradisional atau penulis konvensional. Ia hanya menunggu karyanya dimuat, lalu menunggu lagi untuk menerima honor atau royalti. 

Seorang writerpreneur membuat ia malah dicari-cari penerbit dan orang lain di luar dunia penerbitan yang memerlukan jasanya. Sahabat saya, Anang YB yang juga melakoni diri sebagai penulis jasa malah sering kewalahan mendapatkan pekerjaan menulis. 

Prinsipnya tidak ada satu pun bidang di dunia ini lepas dari tulis-menulis dan menulis itu sejatinya bukan hanya artikel atau buku, melainkan masih banyak dokumen tertulis lain yang memerlukan keterampilan seorang penulis untuk mewujudkannya. Karena itu, kolaborasi penulisan adalah lautan nyata bagi rezeki seorang penulis.

Jasa penulisan boleh saya katakan masih seperti bisnis laut biru (blue ocean)---sedikit literator yang berselancar di sini. Ini bukanlah bisnis kerumunan yang dapat dilakoni oleh banyak penulis. 

Memang ada penulis-penulis amatir yang coba masuk ke wilayah ini dengan "bekal" pengetahuan dan keterampilan seadanya---seorang penulis jasa semestinya juga seorang konsultan. Namun, biasanya pekerjaan menulis yang mereka garap masih bertaraf "ecek-ecek". Jika ingin naik kelas, tentu saja seorang penulis harus mengasah kemampuannya dan sebaiknya memiliki mentor menulis yang juga berpengalaman.

***

Tahun politik 2019, banyak penulis jasa yang "bergentayangan" memainkan perannya untuk berkolaborasi melambungkan sosok seorang calon anggota legislatif atau bahkan capres dan cawapres. 

Kolaborasi antarmereka sah-sah saja selama saling menguntungkan dan dilakukan secara etis. Bagi seorang penulis profesional, politikus adalah juga klien yang potensial meskipun kadang-kadang berisiko tidak membayar ketika mereka gagal dalam pemilihan.

Saya masih ingat kisah getir Ramadhan K.H. ketika menuliskan autobiografi Soeharto: Pikiran, Tindakan, dan Ucapan Saya. Saat menagih upah penulisannya, ia dipingpong ke sana kemari. 

Akhirnya, setelah beberapa tahun berjuang mendapatkan haknya, Mensesneg kala itu, Sudharmono, membayar upahnya dengan sebuah mobil Corolla gres. Ini bagian dari dukanya seorang penulis jasa. Sukanya? Lebih banyak lagi.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun