Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Diksi di Balik Mudik, Arus Balik, dan Kritik

19 Juni 2018   09:31 Diperbarui: 19 Juni 2018   12:05 2308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Kompas Properti)

Kecanggihan sistem transportasi yang dibangun atau dikembangkan pemerintah Indonesia, selalu diuji setiap tahun pada musim mudik lebaran. Karena itu, wajar jika data berupa angka-angka kemudian penting dikemukakan. 

Menteri Perhubungan Budi Karya menyebut angka pemudik tahun 2018 menurun meskipun ia belum dapat merinci berapa jumlahnya. Penurunan angka pemudik yang signifikan terjadi pada pemudik yang menggunakan motor. Hal ini juga berpengaruh pada turunnya angka kecelakaan lalu lintas pada musim mudik tahun 2018 (belum termasuk arus balik).

Hal yang dibanggakan pemerintah adalah kesiapan sejumlah ruas jalan tol untuk mudik 2018. Entah siapa yang memulai, muncul istilah "Tol Jokowi". Lalu, dijawab lagi oleh pengkritik Jokowi bahwa itu adalah "tol rakyat'. Mudik menjelang pilkada dan pemilu kali ini sarat dengan sindiran demi sindiran yang diungkapkan melalui spanduk, meme, atau komentar di medsos. Bahkan, mudik yang sakral ini mengalami polarisasi --menghasilkan dua kubu yang saling berlawanan.

Tak urung kritik juga terlontar kepada pemerintah. Mulai soal infrastruktur mudik, pengaturan lalu lintas, hingga tarif transportasi umum yang melambung.

Bagi pegiat dunia tulis-menulis seperti saya menjadi menarik "melirik" soal diksi (pilihan kata) di balik "mudik", "arus balik", dan munculnya kritik. Saat ini berita terkait lebaran 2018 belumlah usai meskipun ditingkahi riuh World Cup 2018 di Rusia. Para pemudik masih banyak yang belum kembali ke kota. Para pejabat terkait, terutama Menteri Perhubungan, Kapolri, dan lainnya masih harus bersiaga menghadapi arus balik.

Tentang mudik dan arus balik

Menyoal mudik dari tahun ke tahun memang menarik. Ada saja cerita di balik mudik, baik cerita suka, duka, atau kekonyolan. Namun, di balik diksi mudik terkandung makna sakral kerinduan, bakti kepada orangtua, dan sambungan silaturahmi.

Sebagai ragam cakapan, "mudik" berarti pulang ke kampung halaman (jangan tanya halaman berapa). Istilah "mudik" berasal dari kata udik yang dalam bahasa Betawi bermakna hulu/selatan. Kata ini mengalami perluasan makna menjadi "kampung" karena pada masa Jakarta masih bernama Batavia, hasil-hasil bumi diangkut dari hulu/selatan memasuki tembok kota yang berada di hilir. Dari situ berdasarkan catatan Wikipedia muncul istilah hilir-mudik yang artinya bolak-balik.

Mudik kemudian secara luas digunakan sebagai istilah pengganti "pulang kampung", terutama saat perayaan hari besar seperti Idulfitri. Peristiwa mudik di Indonesia dianggap fenomenal karena melibatkan jutaan orang serta semua sarana transportasi. Karena itu, tidaklah mudah mengelola peristiwa ini demi menghindarkan terjadinya kecelakaan dan kemacetan parah di beberapa titik.

Setelah mudik maka muncul juga istilah "arus balik" yaitu peristiwa kembalinya para pemudik ke kota asalnya. Hal ini juga sama-sama menimbulkan masalah dalam soal lalu lintas dan transportasi. Dalam hal transportasi umum saat ini, harga tiket mudik dan arus balik sama mahalnya. Banyak orang yang masih memiliki keleluasaan waktu lebih memilih pulang paling akhir untuk menunggu harga tiket menjadi lebih murah atau kembali ke harga normal.

Pada lebaran kali ini berbeda dengan beberapa tahun lalu, kita tidak lagi sering mendengar istilah tuslah. Tuslah di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan tambahan pembayaran (contohnya pada tiket kereta). Kata ini dipungut dari bahasa Belanda "toeslag" yang berarti tambahan pembayaran atau dalam bahasa Inggris kita dapat menemukan beberapa istilah extra allowance, wage supplement, excess fare, dan extra charge on tickets.

Sebenarnya riwayat tuslah belumlah berakhir, terutama pada transportasi udara. Pemerintah sempat menukar istilah "tuslah" dengan pemberlakuan tarif batas atas, tarif batas bawah, dan tarif berdasarkan mekanisme pasar. Kebijakan ini dianggap lebih proporsional karena dengan tarif batas atas diharapkan masyarakat terlindungi dari pengenaan tarif yang melebihi batas kewajaran. Adapun dengan tarif batas bawah diharapkan para pengusaha transportasi terhindar dari tarif yang merugikan mereka. 

Namun, tetap saja menjelang arus mudik dan arus balik, harga tiket melambung. Bahkan, muncul kritik harga tiket pesawat melambung seratus persen dari kondisi normal. Jadi, itu sebenarnya juga tuslah alias penambahan tarif. 

Kritik di balik mudik

Selalu ada kritik di balik mudik. Teranyar datang dari politikus Gerindra, Habiburokhman. Entah ia memang menyuarakan hati murni sebagai pemudik, entah momentum ini digunakannya sebagai oposisi untuk melontarkan kritik. Ramai media mengutip komentarnya bahwa mudik tahun ini seperti neraka, terutama di Merak karena sang politikus mudik melalui jalur darat ke Lampung.

Diksi "neraka" yang dipilih Habiburokhman mungkin dianggap beberapa pihak, terutama pemerintah termasuk lebay alias berlebihan. Tentu saja bukan karena sang politikus pernah merasakan neraka. Dalam konteks gaya bahasa, ada beberapa tipe diksi untuk menyindir, yaitu ironi, sinisme, dan sarkasme. Gaya yang dipilih Habiburokhman adalah sarkasme karena sifatnya mengandung kepahitan dan celaan yang getir.

Jangan baper dulu soal ini. Dalam lalu lintas, istilah "jalur neraka" dan "jalur tengkorak" itu sudah jamak digunakan. Media lah yang memopulerkannya. Istilah "jalur neraka" digunakan untuk menunjukkan kondisi jalan atau jalur yang berpotensi menimbulkan kemacetan parah (terhambat berjam-jam dan panjangnya berkilo-kilometer), sedangkan istilah "jalur tengkorak" menunjukkan kondisi jalan yang sering menyebabkan kecelakaan maut. Jadi, Bang Habirurrokhman hanya mengungkapkan isi pikiran dan hatinya tentang kemacetan parah di Merak dengan tambahan diksi mobilnya nyangkut.

***

Diksi itu termasuk seni dan keterampilan memilih sekaligus menggunakan kata-kata. Dalam komposisi sebuah tulisan, diksi akan membantu ---meminjam istilah Gorys Keraf--- mewujudkan kepaduan dan keharmonisan estetis sekaligus kepaduan dan keharmonisan intelektual (logis) pada tulisan. Karena itu, kecermatan menggunakan diksi menjadi salah satu kompetensi para penulis profesional.

Dari sebuah peristiwa, seperti lebaran, mudik, atau perhelatan akbar Piala Dunia saat ini, kita dapat mencermati diksi yang digunakan seorang penulis untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaannya. Banyak penulis yang piawai, tetapi tidak sedikit pula penulis yang gagap dan tergelincir menggunakan diksi. Alih-alih hendak menguatkan suatu makna, ia malah merusakkan makna karena salah memilih kata-kata.

Tulisan ini mungkin terasa kurang nyambung, tetapi paling tidak saya sedang berusaha menyambungkan silaturahmi kepada Kompasianer daripada tidak ada yang dituliskan. Jadi, selamat menggunakan diksi dengan baik dan benar.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun